Sabtu, 22 Mei 2010

BIMBINGAN DAN KOSELING


BAB I
LATAR BELAKANG

KONSEP-KONSEP DASAR
 Perubahan dan perkembangan masyarakat.
 Modernisasi.
 Era globalisasi dan informasi.
 Dampak modernisasi, globalisasi dan informasi.
 Derajat manusia di antara sekalian makhluk.
 Dimensi kemanusiaan.
• Keindividualan (individualitas).
• Kesosialan (sosialitas).
• Kesusilaan (moralitas).
• Keberagaman (religiusitas).
 Manusia seutuhnya.
 Sumber permasalahan.
 Peranan pendidikan.
 Peranan bimbingan dan konseling.
 Peraturan perundang-undangan sistem pendidikan nasional.

A. Pembangunan dan Perkembangan Masyarakat
Indonesia bertekad untuk menyelenggarakan perjuangan pembangunan menuju bangsa yang cerdas, maju, adil dan makmur, baik spiritual maupun materiil. Oleh karena itu sangatlah beralasan apabila pada tahun 1970-an dicanangkan upaya "akselerasi-modernisasi" dengan kecepatan yang semakin mengikat kita memodernisasikan bangsa Indonesia.
Dalam era tinggal landas ini seluruh potensi bangsa dan segenap unsur kemasyarakatan diharapkan telah matang secara optimal dikerahkan untuk mencapai kehidupan berbangsa yang cerdas, maju, adil dan makmur, baik spiritual maupun materiil tersebut. Pertumbuhan penduduk yang sampai sekarang masih tergolong amat cepat (dari sekitar 60 – 70 juta di awal kemerdekaan sampai 180 juta pada tahun 1992), potensi alam yang meskipun cukup banyak dan bervariasi tetapi terbatas, persaingan antarbangsa yang semakin ketat, dan berbagai kendala intern yang ada dapat memperlambat lajunya pembangunan.
Dibandingkan proses pembangunan bangsa-bangsa yang sekarang dianggap sebagai bangsa maju (seperti Amerika Serikat dan bangsa-bangsa Eropa Barat), pembangunan bangsa kita banyak mengalami kendala. Bangsa-bangsa yang sekarang sudah maju melakukan upaya pembangunan sudah sejak lama, katakanlah sejak abad ke-18 – 19. Pada waktu itu penduduk mereka masih kecil jumlahnya.
Dunia memang terus berkembang. Perkembangan, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat ditandai dengan perkembangan masyarakat dari zaman pertanian (yang berlangsung sampai abad ke-18), melalui zaman industrialisasi (abad ke-19 – 20), dan sebentar lagi memasuki zaman informasi (mulai abad ke-21).
Masyarakat dunia sedang memasuki zaman informasi. Zaman informasi telah melanda seluruh dunia sehingga masyarakat dunia seakan-akan "menjadi satu" dan terciptalah era globalisasi.
Globalisasi dan informasi merupakan dua istilah. Dua istilah ini amat sering diucapkan dalam hampir semua ceramah, seminar ataupun lokakarya yang mengupas berbagai permasalahan yang hangat. Globalisasi dan informasi, seringkali dikaitkan pula dengan istilah teknologi dan industrialisasi.
Globalisasi berasal dari kata global yang berarti menyeluruh. Kata global dapat pula dikaitkan dengan globe yang berarti bulatan bumi secara menyeluruh. Bahkan rapat, konferensi, dan seminar jarak jauh, yaitu "pertemuan" di antara orang-orang yang tinggalnya berjauhan, dewasa ini telah dapat diselenggarakan.
Teknologi yang semakin canggih memungkinkan dicapainya tempat-tempat yang tadinya jauh dan mustahil untuk ditempuh dalam waktu yang sangat singkat; demikian pula teknologi yang demikian itu memungkankan dikirimkannya berita-berita dengan amat cepat, jelas dan lengkap. Siaran radio, televisi dan telepon amat ditunjang oleh sistem satelit sehingga dapat mencapai tempat-tempat yang tadinya tidak mungkin dijangkau. Penemuan komputer lebih menyemarakkan lagi kecanggihan teknologi yang dapat diterapkan untuk segenap bidang rekayasa, sampai ke bidang seni lukis sekalipun. Semuanya itu menjadikan upaya-upaya rekayasa manusia dapat dilakukan dengan lebih mudah dan lebih cepat dengan hasil yang lebih bagus, lebih tepat dan lebih banyak.
Globalisasi dan informasi ibarat dua sisi dari satu mata uang. Dengan semangat globalisasi yang semakin meningkat melalui arus informasi yang semakin menggebu, ditunjang pula oleh kemajuan teknologi yang semakin canggih, seluruh bagian dunia sampai ke bagian yang paling jauh dan terpencil sekalipun menjadi terbuka. Seluruh bagian dunia menjadi tembus pandang, membuka diri, dan siap untuk berubah.
Tampaknya tidaklah mungkin menghentikan gelombang perubahan yang diakibatkan oleh semangat globalisasi dan derasnya arus informasi yang melanda dunia itu; dan bahkan tidak ada alasan untuk mencegahnya. Era globalisasi sudah berada di hadapan kita; gelombang perubahan telah mulai, dan perubahan yang semakin besar akan segera datang.
Dalam menghadapi masa depan yang berubah, yang tidak dapat dielakkan itu, orang mungkin bersikap pesimistik ataupun optimistik. Derasnya arus globalisasi itu akan meruntuhkan nilai-nilai moral dan sosial serta tatanan kemasyarakatan dianggap telah mapan di masyarakat dari generasi ke generasi. Hancurnya nilai-nilai moral dan sosial ini pada gilirannya akan menimbulkan keresahan dan kerusuhan di dalam masyarakat yang secara langsung berdampak negatif terhadap anggota masyarakat dalam skala yang tak terbayangkan. Masa depan yang demikian itu akan penuh dengan bahaya dan kemunduran-kemunduran.
Di dalam era globalisasi itu terdapat demikian banyak kesempatan untuk mengadakan perubahan-perubahan, perbaikan dan peningkatan terhadap segala sesuatu yang selama ini dirasakan kurang berkembang. Masa depan adalah kemajuan. Perubahan-perubahan yang diinginkan adanya pada era globalisasi itu justru merupakan tantangan yang memberikan harapan-harapan baru bagi kita semua.
Bagaimanapun, adalah cukup beralasan apabila dikatakan bahwa era globalisasi dan derasnya arus informasi itu akan memberikan dampak yang besar terhadap seluruh warga masyarakat, baik mereka yang pesimis maupun optimis. Orang-orang yang pesimis menghadapi masa depan yang penuh dengan tuntutan dan perubahan itu ditantang untuk mempertahankan nilai-nilai moral dan sosial serta tatanan kehidupan; sedangkan orang-orang yang optimis ditantang untuk mampu mengisi kesempatan-kesempatan yang terbuka pada era globalisasi itu. Tentu saja ada golongan orang yang tidak bisa disebut pesimis atau optimis.
Salah satu dampak nyata modernisasi dalam era globalisasi adalah peningkatan kebutuhan dan keinginan-keinginan masyarakat, baik dalam jenis maupun dalam ke-adrengan-nya (intensitasnya). Warga masyarakat pada berbagai usia, dari yang masih amat muda sampai yang sudah tua-tua; pada berbagai status sosial ekonomi, di berbagai macam daerah, dari desa-desa yang kecil sampai ke kota-kota besar, dari daerah pegunungan sampai ke pinggir-pinggir pantai; tanpa kecuali terkena oleh "virus".
Keinginan yang semakin meningkat seperti itu sebenarnya adalah sesuatu hal yang wajar dan baik asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan sosial yang diterima oleh masyarakat, serta sesuai dengan kemampuan individu atau kelompok yang bersangkutan (kemampuan fisik, mental, keuangan) dan peraturan yang berlaku.
Tanda-tanda yang semakin jelas tampak dan kita rasakan, tidak diragukan lagi era globalisasi pasti datang. Era baru itu, hal-hal pokok yang paling kita harapkan ialah perubahan-perubahan itu membawa dampak yang sebesar-besarnya memberikan kematangan bagi sebagian besar warga masyarakat. Warga masyarakat tidak kehilangan nilai-niiai moral dan sosial yang menjadi dasar kehidupan mereka; dapat merangsang ditingkatkannya nilai tambah. Keinginan-keinginan yang semakin meningkat dapat dikelola dan disalurkan secara positif dan berhasil. Frustrasi dan keterasingan dapat dikurangi menjadi seminimal mungkin dan dapat diatasi dengan cara-cara yang tepat yang justru tidak menimbulkan permasalahan baru.
Memperkembangkan kehidupan yang menyenangkan dan mem-bahagiakan. Dalam kajian ini, Raka Joni (1989) mendorong ditemukannya jawaban.
Sebaliknya unsur-unsur yamg terdapat di dalam era globalisasi itu dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan lagi pengembangan masyarakat beserta seluruh warganya. Era globalisasi hendaknya justru menjadi pemacu bagi pengembangan manusia seutuhnya. Mereka harus belajar dan menyiapkan diri sendiri untuk menghadapi era baru itu dengan sikap dan kemampuan yang tepat dan memadai, yaitu kemampuan mengantisipasi, mengakomodasi, mereorientasi, dan menangani masalah (Makagiansar, 1990).

B. Manusia: Makhluk Paling Indah dan Berderajat Paling Tinggi
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling indah dan paling tinggi derajatnya. Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah atau pemimpin di bumi, atau bahkan kiranya di seluruh semesta ciptaan Tuhan. Apakah artinya predikat "paling indah" dan "paling tinggi" itu? Hakikat keindahan artinya rasa senang dan bahagia. Dengan demikian, predikat, paling indah untuk manusia dapat diartikan bahwa tiada sesuatu pun ciptaan Tuhan yang menyamai keberadaan manusia yang mampu mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan di mana pun dan pada saat apa pun, baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi makhluk lain.
Keindahan manusia berpangkal pada diri manusia itu sendiri. Diri manusia memang indah, baik fisiknya, maupun dasar-dasar mental dan kemampuannya. Tingkah laku dan karya-karya manusia pun indah sepanjang tingkah laku dan karya-karyanya itu dilandasi oleh keindahan fisik dan dasar-dasar mental serta kemampuannya itu. Lihatlah keadaan fisik manusia: "Seburuk-buruknya" keadaan fisik seseorang masih jauh lebih baik, atau lebih indah daripada seekor binatang yang paling cantik sekalipun. "Indah" di sini dimaksudkan bukan semata-mata dari segi bentuk atau wujud penampilannya, tetapi lebih lagi dari segi maknanya. Mata manusia memiliki makna jauh lebih luas, lebih tinggi, lebih kompleks, dan lebih komplit.
Predikat "paling tinggi" mengisyaratkan bahwa tidak ada makhluk lain yang dapat mengatasi dan mengalahkan manusia. Manusialah yang justru diberi kemungkinan untuk mengatasi ataupun menguasai makhluk-makhluk lain sesuai dengan hakikat penciptaan manusia itu. Ajaran agama menyebutkan bahwa manusia diciptakan menjadi khalifah atau pemimpin di bumi. Nabi Adam sebagai manusia pertama telah diberi bekal untuk mengenal dan menguasai dunianya, dan segera setelah diturunkan ke bumi ia (dan istrinya = Siti Hawa) mewujudkan kemampuannya menguasai dunianya sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.
Benda dan alat-alat (pada awalnya dari tanah, kayu atau batu) diciptakan untuk menopang upaya penguasaan mereka atas lingkungan. Manusia yang paling primitif itu pun adalah manusia yang berbudaya.
Zaman batu yang menjadi ciri kebudayaan manusia primitif diganti dengan zaman besi yang lebih maju. Zaman besi ini pun yang semula ditandai oleh pemakaian besi untuk senjata dan peralatan sederhana. Zaman besi yang lebih maju ini kemudian disusul oleh zaman atom dan zaman nuklir sebagaimana kita alami sekarang.
Hakikat manusia sebagai makhluk paling indah dan paling tinggi derajatnya mendorong manusia untuk terus maju dan berkembang tanpa henti; dari zaman ke zaman. Menurut sejarah, kemajuan dan perkembangan manusia itu ternyata tidak selalu mulus dan setiap saat membawa kesenangan dan kebahagiaan.
Kedua kelompok menderita. Lebih jauh, upaya melampaui batas itu sering kali dilakukan dengan cara-cara yang keji dan di luar batas perikemanusiaan. Terjadilah peristiwa tragis, manusia saling membunuh sesamanya dengan melampiaskan kekejaman yang tiada tara. Dalam keadaan seperti itu manusia yang paling tinggi derajatnya di antara semua makhluk itu menjadi jatuh pada derajat yang amat rendah, dan mungkin sama rendah dengan binatang.
Keberadaan manusia dengan predikat paling indah dan derajat pa¬ling tinggi itu tidak selamanya membawa manusia menjalani kehidupannya dengan kesenangan dan kebahagiaan. Malapetaka dan kesengsaraan membuntuti perjalanan hidup manusia dan boleh jadi tidak terelakkan apabila manusia itu tidak awas dan waspada mengelola perjalanan hidupnya.

C. Dimensi-dimensi Kemanusiaan
Pertama, antara orang yang satu dengan orang-orang lainnya terdapat berbagai perbedaan yang kadang-kadang bahkan sangat besar. Persamaan di antara orang-orang itu memang banyak, seperti sama-sama memerlukan makanan dan minuman, serta udara segar, sama-sama menghendaki kesenangan dan kebahagiaan; sama-sama dapat menderita dan mengalami kesembuhan; sama-sama dapat mempelajari sesuatu, ingat dan lupa; sama-¬sama menginginkan untuk dicintai dan mencintai; sama-sama dapat merespon perangsang yang datang dari dalam dan dari luar dirinya. Dari segi penampilan fisik misalnya dapat diketahui yang seorang berjenis kelamin pria, sedangkan yang lain wanita; seorang cebol, sedankan yang lain pendek, sedang, jangkung, atau amat jangkung; kurus-kering, kerempeng, gempal, gembrot, kekar, atletis, tampak tak berdaya, loyo; sakit-sakitan, sehat; cantik, gagah, sederhana, berwajah kriminal; mata sipit, mata besar, mata sayu, mata tajam; dan lain sebagainya. Orang sering berkata: "Kepala sama berbulu, pendapat berlain-lainan". Meskipun peribahasa Air cucuran dari atap jatuhnya ke pelimbahan juga menggambarkan bahwa anak mewarisi sifat-sifat orang tuanya; namun betapa banyaknya kenyataan yang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan.
Kedua, semua orang memerlukan orang lain. Dari tinjauan agama, Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan Tuhgan memerlukan kawan, maka diciptakan Siti Hawa. Kemudian keturunan Adam dan Hawa saling berinteraksi sesamanya mewujudkan keberadaan dan kehidupan mereka di dunia.
Seorang bagi yang terlahir ke dunia memerlukan orang lain agar ia dapat terus hidup dan berkembang menjadi manusia. Tanpa ada dan berperannya orang lain (ibunya, bapaknya, saudara, dan famili-famili, guru-gurunya, teman-temannya, dokternya, dan sebagainya), bayi itu kemungkinan besar akan meninggal dunia. Bayi itu dapat terus hidup karena adanya "orang" lain, yaitu serigala yang memeliharanya, dan dari serigala itulah bayi itu memperoleh makanan, "pendidikan, pengajaran, dan bimbingan" dari serigala. Serigala itulah yang "membentuk" bayi menjadi "manusia serigala" itu.
Ketiga, kehidupan manusia tidak bersifat acak ataupun sembarangan, tetapi mengikuti aturan-aturan tertentu. Hampir semua kegiatan manusia, baik perseorangan maupun kelompok, mengikuti aturan-aturan tertentu.
Keempat, juga dari sudut tinjauan agama, kehidupan tidak semata-¬mata kehidupan di dunia fana, melainkan juga menjangkau kehidupan di akhirat. Semakin disadari keterkaitan pada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran tersebut pada gilirannya mewarnai perikehidupan manusia, baik secara perseorangan maupun kelompok. Kegiatan-kegiatan kemanusiaan, baik sehari-hari maupun yang berjangka lebih panjang; diberi warna dan jangkauan yang tidak sekadar saat ini atau hari ini saja, melainkan berjangkauan ke depan yang lebih jauh dan lebih jauh lagi sampai menjangkau kehidupan kelak di kemudian hari.
Insting pada manusia memang ada, tetapi jenis dan maknanya amat terbatas. Apabila kehidupan binatang hampir 100% dikendalikan oleh insting, maka kehidupan manusia hanya sebagian kecil saja yang dikendalikan oleh insting. Kehidupan manusia sebagian besar justru dikendalikan oleh dinamika pengembangan dirinya sendiri atas dasar kemauan, kesadaran dan kesengajaan manusia itu sendiri. Pada manusia ada kebebasan alamiah (Adler; 1981) yang setiap kali mengarahkan dan mengangkat lebih tinggi lagi kehidupan manusia sejalan dengan derajatnya yang paling tinggi itu. Kebebasan alamiah ini menjadikan manusia terbebas dari tingkah laku instingtif dan belenggu lingkungannya. Dengan kebebasan alamiah itu manusia dapat "mengubah dirinya secara kreatif mau apa dan mau menjadi apa sesuai dengan pilihannya sendiri" (Adler, 1981, h. 141).
Keempat gejala mendasar yang diuraikan tersebut merupakan dimensi kemanusiaan. Dimensi di sini dimaksudkan sebagai sesuatu yang secara hakiki ada pada manusia di suatu segi, dan di segi lain sebagai sesuatu yang dapat dikembangkan. Dalam kaitan itu, masing-masing gejala mendasar tersebut dapat dirumuskan sebagai dimensi keindividualan (individualitas), dimensi kesosialan (sosialitas), dimensi kesusilaan (moralitas), dan dimensi keberagamaan (religiusitas) (Prayitno, 1990).
Pengembangan dimensi keindividualan memungkinkan seseorang memperkembangkan segenap potensi yang ada pada dirinya secara opti¬mal mengarah kepada aspek-aspek kehidupan yang positif.
Perkembangan dimensi keindividualan diimbangi dengan perkembangan dimensi kesosialan pada diri individu yang bersangkutan.
Dimensi kesusilaan memberikan wama moral terhadap perkembangan dimensi pertama dan kedua. Norma, etika dan berbagai ketentuan yang berlaku mengatur bagaimana kebersamaan antarindividu seharusnya dilaksanakan. Dimensi kesusilaan justru mampu menjadi pemersatu sehingga dimensi keindividualan dan kesosialan dapat bertemu dalam satu kesatuan yang penuh makna. Dimensi keempat, yaitu dimensi keagamaan. Pembangunan ketiga dimensi itu dapat tidak terbatas.

D. Manusia Seutuhnya
Manusia seutuhnya mengacu kepada kualitas manusia sebagai makhluk yang paling indah dan paling tinggi derajatnya, serta kepada perkembangan yang optimal keempat dimensi kemanusiaan.
Manusia seutuhnya itu adalah mereka yang mampu menciptakan dan memperoleh kesenangan dan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya berkat pengembangan optimal segenap potensi yang ada pada dirinya (dimensi keindividualan), seiring dengan pengembangan suasana kebersamaan dengan lingkungan sosialnya (dimensi kesosialan), sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku (dimensi kesusilaan), dan segala sesuatunya itu dikaitkan dengan pertanggungjawaban atas segenap aspek kehidupannya di dunia terhadap kehidupan di akhirat kelak kemudian hari (dimensi keagamaan). Citra manusia seutuhnya adalah manusia yang sebenar-benarnya manusia; manusia dengan aku dan kediriannya yang matang, tangguh dan dinamis; dengan kemampuan sosialnya yang luas dan bersemangat, tetapi menyejukkan; dengan kesusilaannya yang tinggi; serta dengan keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mendalam.
Di dalam masyarakat, gambaran manusia seutuhnya itu sering ditampilkan melalui pengembangan paham-paham tertentu yang menjadi dasar ataupun panutan bagi berbagai gerakan yang amat besar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, baik gerakan politik, ekonomi, sosial-budaya keamanan, dan gerakan-gerakan lainnya.
Di Dunia Barat berkembang berbagai ide besar yang mengisi dan mempengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat. Dari berbagai ide besar itu ada enam yang amat terkenal, yaitu ide tentang kebenaran, kebaikan, keindahan, kebebasan, kesamaan, dan keadilan (Adler, 1981). Salah satu dari keenam ide besar itu yang amat diagungkan ialah kebebasan. Liberalisme (yang intinya kebebasan) menjadi dasar, arah, dan warna kehidupan bangsa-bangsa Barat di segala bidang.
Para pemikir Barat, bidang psiko-humanistik, seperti Frankl, Jung, Maslow dan Rogers (dalam Sappington, 1989) telah pula mengajukan berbagai rumusan sejalan dengan konsep manusia seutuhnya. Mereka memakai istilah (berfungsinya unsur-unsur kemanusiaan secara ideal) sebagai perwujudan manusia seutuhnya. Ciri-ciri manusia yang dapat berfungsi secara ideal itu adalah:
Menurut Frankl:
1. mencapai penghayatan yang penuh tentang makna hidup dan kehidupan;
2. bebas memilih dalam bertindak;
3. bertanggung jawab secara pribadi terhadap segala tindakan;
4. melibatkan diri dalam kehidupan bersama orang lain.
Menurut Jung:
1. memiliki pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri;
2. menerima diri sendiri, termasuk kekuatan dan kelemahannya;
3. menerima dan bersikap toleran terhadap hakikat dan keberadaan kemanusiaan secara umum;
4. menerima hal-hal yang masih belum dapat diketahui atau misterius, serta bersedia mempertimbangkan hal-hal yang bersifat tidak rasional tanpa meninggalkan cara-cara berpikir logis.
Menurut Maslow, manusia yang berfungsi secara ideal ialah mereka yang mengembangkan seluruh kemampuan dan potensinya. Lebih jauh, Maslow menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berhasil mewujudkan diri sendiri secara penuh.

Ciri-cirinya, ialah:
1. memiliki orientasi yang realistik;
2. menerima diri sendiri dan orang lain;
3. spontan;
4. lebih "berpusat pada tugas" daripada "berpusat pada diri sendiri" dan tidak terlalu memperhitungkan siapa memperoleh keuntungan ataupun kerugian (diri sendiri atau orang lain); yang lebih dipentingkan ialah pekerjaan atau tugas dapat diselesaikan dengan baik;
5. memiliki hal-hal khusus yang bersifat amat pribadi dan tidak boleh dicampuri oleh orang lain;
6. bebas dan mandiri, yakin akan pertimbangan-pertimbangan diri sendiri dan tidak sekadar meniru orang lain;
7. mampu menghargai orang lain sebagai sesuatu yang unik dan tidak menyamaratakan orang lain itu berdasarkan pandangan apriori (stereotype) tertentu;
8. memiliki pandangan dan pengalaman yang bersifat mistik atau spiritual yang cukup menonjol, meskipun tidak selalu dinyatakannya melalui bahasa agama;
9. menyatukan diri ke dalam kegiatan sosial-kemanusiaan dan memiliki perhatian yang besar terhadap kesejahteraan orang lain;
10. menjalin hubungan yang sangat dekat dan intim dengan sejumlah orang;
11. mengamalkan nilai-nilai demokratis: menghargai semua orang, tanpa memandang ras, suku, agama, dan latar belakang sosial ekonomi;
12. tidak mencampuradukkan antara tujuan dan cara mencapai tujuan itu;
13. memiliki rasa humor (yaitu rasa humor yang hangat dan segar, bukan yang menyakitkan atau menyinggung orang lain);
14. kreatif;
15. tidak mau mengikuti begitu saja budaya – adat istiadat yang ada karena melihat kelemahan dan keterikatannya yang membelenggu;
16. lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan nyata (aksi) daripada sekedar melalui penanggapan (reaksi).
Menurut Rogers:
1. Terbuka bagi pengalaman-pengalaman baru. Mereka menyadari perasaan dan sikap-sikapnya sendiri, tetapi juga menyadari dan mengakui adanya dunia lain di luar dirinya (Tamsil yang diberikan: "Tidak semua pohon itu hijau").
2. Meyakini fungsi organisme. Apabila organisme diri kita berfungsi dengan baik, maka kita akan mampu memilih makanan, minuman, gerak dan lingkungan yang baik.
3. Memiliki standar penilaian yang tepat. Mereka mampu memberikan penilaian berdasarkan standar yang dimilikinya sendiri dan tidak tergantung pada penerimaan atau penolakan orang lain.
4. Kreatif. Mereka mampu menciptakan atau mampu menampilkan pemikiran atau tindakan-tindakan baru.
5. Meyakini, menghayati dan mengamalkan kebebasan. Mereka merasa bebas memilih berbagai alternatif untuk berbuat.
6. Memahami dan menerima orang lain.
Pada dasarnya mereka sepakat atas ciri-ciri umum manusia ideal yang mampu berfungsi secara penuh, yaitu mereka (Sappington, 1989):
1. secara sadar mampu mengontrol hidupnya sendiri;
2. melihat dan memahami diri sendiri dan dunia luarnya (orang-orang lain dan lingkungan) secara tepat;
3. menerima diri sendiri dengan segenap kekuatan dan kelemahannya;
4. penuh tenggang rasa (toleran) terhadap orang lain;
5. mampu membangun hubungan yang akrab dan mendalam dengan sejumlah orang;
6. bertindak dengan motivasi untuk mencapai tujuan dan tidak sekadar untuk terhindar dari tekanan tertentu;
7. mampu untuk berubah, khususnya untuk hal-hal yang penting.
Apabila ditilik secara seksama, sesungguhnya sila-sila Pancasila itu mewadahi sepenuh-penuhnya keempat dimensi kemanusiaan.
E. Perlunya Bimbingan dan Konseling
Manusia dituntut untuk mampu memperkembangkan dan menyesuaikan diri terhadap masyarakat, dan untuk itu memang manusia telah diperlengkapi dengan berbagai potensi, baik potensi yang berkenaan dengan keindahan dan ketinggian derajat kemanusiaannya maupun berkenaan dengan keempat dimensi kemanusiaannya itu, yang memungkinkannya untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
Pengembangan kemanusiaan seutuhnya hendaknya mencapai pribadi-pribadi yang kediriannya matang, dengan kemampuan sosial yang menyejukkan, kesusilaan yang tinggi, dan keimanan serta ketakwaan yang dalam.
Tingkat kenakalan remaja dan perkelahian pelajar yang semakin meningkat menunjukkan gejala kurang berkembangnya dimensi kesosialan dan kesusilaan mereka. Demikian juga kurangnya penghayatan terhadap nilai-nilai Ketuhanan dan praktek-praktek kehidupan yang tidak didasarkan atas kaidah-kaidah agama menggambarkan kurang mantapnya pengembangan dimensi keberagamaan. Permasalahan yang banyak terjadi di masyarakat, seperti pertengkaran antarwarga masyarakat, rendahnya disiplin kerja, pengangguran, pencurian, perjudian, perceraian, pemerkosaan, pelacuran, kumpul kebo, penculikan, dan sebagainya merupakan gejala rendahnya pengembangan keempat dimensi kemanusiaan tersebut.
Banyak penulis sejak tahun 1970-an telah mengungkapkan bahwa sumber permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak, remaja dan pemuda itu terutama sekali berada di luar diri mereka sendiri. Sikap orang tua dan anggota keluarga, keadaan keluarga secara keseluruhan, pengaruh film – telelisi – video, iklim kekerasan dan kekurangdisiplinan yang berlangsung di masyarakat, kelompok-kelompok sebaya yang bertindak menyimpang dan berbagai faktor negatif lainnya dalam kehidupan sosial di luar sekolah semuanya menunjang timbulnya masalah-masalah pada anak-anak, remaja dan pemuda tersebut (Barr-Johnson & Hiett, 1978; Nelken & Gallo, 1978; Feldhausen, 1978). Telah lama pula disadari bahwa suasana kelas dan sekolah secara keseluruhan yang kering dan mandul, hubungan murid-murid dan guru-murid yang rapuh dan keras, merajalelanya ketidakacuhan, tuntutan akan kepatuhan yang mutlak dan peniruan yang membabi buta, persaingan yang tidak sehat, pola tingkah laku yang serba tunggal dan tidak demokratis dan lain sebagainya, semuanya menjegal kesehatan mental anak-anak (Weimberg, 1972).
Telah lama pula diketahui kenyataan bahwa makin derasnya perubahan sosial yang terjadi dan makin kompleksnya keadaan masyarakat akan makin meningkatkan derajat rasa tidak aman bagi para remaja dan pemuda (William, 1977). Perubahan-perubahan bersejarah yang terjadi pada bebe¬rapa dasawarsa terakhir ini, yang telah mengubah kondisi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan psikologis setiap orang, membawa pengaruh besar terhadap perikehidupan dan perkembangan anak-anak, remaja dan pemuda. Dalam kaitan ini dirasakan bahwa sekolah terlebih-lebih lagi menanggung akibat dari berbagai perubahan besar tersebut (De Cecco & Richards, 1978).
"Upaya peningkatan kuantitas yamg dipacu dengan demikian pesat justru akan mengorbankan kualitas". Upaya pemecahan masalah kuantitas dalam bidang pendidikan (yaitu pemerataan pendidikan)
Sartono Kartodirdjo pada akhir tahun 1991 mengemukakan bahwa pendidikan sekolah dasar di Indonesia telah "menyapu semua kreativitas dan daya kritis anak; sementara itu verbalisme semakin merajalela''.
Sudjatmoko pada tahun 1984 mengenai fungsi pendidikan dalam menyiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan-tantangan abad ke-21:
Sudah tidak memadai lagi berpikir tentang penambahan pengetahuan sebagai titik akhir proses belajar. Padahal tantangannya adalah pengembangan, baik dalam diri individu maupun di dalam masyarakat, kemampuan untuk belajar terus-menerus, untuk jawaban yang kreatif, dan untuk penilaian yang kritis. (Sudjatmoko, 1984, ...)
Sekolah tetap merupakan sarana yang dapat berarti amat besar dalam penyelenggaran pendidikan. Meskipun di sana-sini sekolah mungkin merupakan tempat yang kurang menguntungkan bagi anak-anak, remaja dan pemuda (Holt, 1975), gerakan "sekolah tanpa kegagalan" (Glasser, 1975) untuk memperteguh misi sekolah itu.
Dalam memenuhi misinya itu sekolah perlu menyelenggarakan kegiatan pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Isi pengajaran dalam arti yang luas itu secara langsung mengait materi-materi yang relevan dengan keempat dimensi dan pengembangan manusia seutuhnya itu.
Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah di Indonesia sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1960-an. Mulai tahun 1975 pelayanan bimbingan dan konseling telah secara resmi memasuki sekolah-sekolah, yaitu dengan dicantumkannya pelayanan tersebut pada Kurikulum 1975 yang berlaku di sekolah-sekolah seluruh Indonesia, pada jenjang SD, SLTP, dan SLTA. Pada Kurikulum 1984 keberadaan bimbingan dan konseling lebih dimantapkan lagi.
Sejak tahun 1989 berlaku sejumlah peraturan perundangan baru dalam bidang pendidikan. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan sejumlah peraturan dasar pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 27, No. 28, No. 29, dan No. 30 Tahun 1980; No. 72 dan No. 73 tahun 1991; serta No. 38 tahun 1992 masing-masing tentang Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, Pendidikan Tinggi, Pendidikan Luar Biasa, Pendidikan Luar Sekolah, dan Tenaga Kependidikan, secara resmi berlaku. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 menjelaskan bahwa tenaga kependidikan meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, pemilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar (Pasal 27, Ayat 2). Tenaga pendidik bertugas membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik (Pasal 1, Ayat 8). Pekerjaan bimbingan di sekolah merupakan salah satu tugas dari tenaga pendidik. Tugas pendidik salah satu di antaranya adalah membimbing.
Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Nomor 026 Tahun 1989 menyebutkan secara eksplisit pekerjaan bimbingan dan penyuluhan (konseling) dan pekerjaan mengajar yang satu sama lain berkedudukan seimbang dan sejajar. Keberadaan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah dipertegas lagi oleh Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 (tentang Pendidikan Dasar) dan No. 29 Tahun 1990 (tentang Pendidikan Menengah). Dalam kedua peraturan pemerintah itu disebutkan dalam Bab X, bahwa:
(1) bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan;
(2) bimbingan diberikan oleh guru pembimbing.
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 menyebutkan bahwa:
– bimbingan dalam rangka menemukan pribadi siswa, dimaksudkan untuk membantu siswa mengenal kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya;
– bimbingan dalam rangka mengenal lingkungan, dimaksudkan untuk membantu siswa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial; ekonomi, budaya serta alam yang ada;
– bimbingan dalam rangka merencanakan masa depan, mempersiapkan diri untuk langkah yang dipilihnya setelah tamat belajar pada sekolah menengah serta kariernya di masa depan.
Lebih jauh, mengingat bahwa sumber permasalahan anak-anak, remaja dan pemuda sebagian besar berada di luar sekolah, dan mengingat pula bahwa permasalahan yang dialami manusia tidak hanya terdapat di sekolah, maka pelayanan bimbingan dan konseling perlu menjangkau daerah-daerah yang lebih luas di luar sekolah. Anak-anak, para remaja, dan pemuda, bahkan orang-orang dewasa di dalam keluarga, di dalam lembaga-lembaga kerja, dan di dalam organisasi serta lembaga-lembaga kemasyarakatan pada umumnya menghadapi kemungkinan untuk menghadapi masalah dalam kehidupan dan perkembangannya (Ivey & Goncalves, 1987).

RANGKUMAN
Pembangunan nasional Indonesia bertujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya dan membangun seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan ini selain untuk menghadapi tuntutan dan tantangan perubahan masyarakat dan modernisasi (termasuk di dalamnya globalisasi, industrialisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi) terutama sekali ialah untuk mengembangkan manusia Indonesia sesuai dengan hakikat kemanusiaannya.
Pendidikan yang pada dasarnya mengupayakan pengembangan manusia seutuhnya serta tidak terhindar dari berbagai sumber rintangan dan kegagalan tersebut perlu diselenggarakan secara luas dan mendalam mencakup segenap segi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Pengajaran di kelas-kelas saja ternyata tidak cukup memadai untuk menjawab tuntutan penyelenggaraan pendidikan yang luas dan mendalam itu. Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan unsur yang perlu dipadukan ke dalam upaya pendidikan secara menyeluruh, baik di sekolah, maupun di luar sekolah.


BAB II
WAWASAN TENTANG PEMAHAMAN PENANGANAN DAN PENYIKAPAN TERHADAP KASUS

Pada awalnya studi kasus dilaksanakan oleh para pekerja sosial dalam rangka penanggulangan berbagai permasalahan sosial bagi pengembangan kesejahteraan warga masyarakat (Jones, 1951; Zastrow, 1982).
Dalam bimbingan dan konseling studi kasus diselenggarakan melalui cara-cara yang bervariasi, seperti analisis terhadap laporan sesaat (anecdotal report), otobiografi atau cerita tentang anak atau klien yang dimaksud, deskripsi tentang tingkah laku, perkembangan anak atau klien dari waktu ke waktu (case history), himpunan data (cummulative records), konferensi kasus (case conference) – (Jones, 1951; McDaniel, 1957; Tolbert, 1959; Bernard & Fullmer, 1969; Patterson, 1978; Fisher, 1978). Sunberg (dalam Pedersen, Lonner & Draguns, 1976) mencatatkan sejumlah hasil penelitian tentang penggunaan case history sebagai prosedur untuk menilai efektivitas konseling. Lebih jauh, Roesler & Rubin (1992) menekankan pentingnya manajemen kasus bagi para konselor guna menjamin ketertiban penyelenggaraan dan keberhasilan konseling. Inti pekerjaan konselor adalah menangani kasus yang dihadapkan kepadanya.

A. Tinjauan Awal tentang Kasus
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kasus berarti soal atau perkara atau keadaan sebenarnya suatu urusan atau perkara. Kasus itu dihubungkan dengan seseorang, maka ini berarti bahwa pada orang yang dimaksudkan itu terdapat "soal" atau "perkara" tertentu.
Dalam bimbingan dan konseling, pemakaikan kata "kasus" tidak menjurus kepada pengertian-pengertian tentang soal-soal ataupun perkara-perkara yang berkaitan dengan urusan kriminal atau perdata, urusan hukum ataupun polisi, atau urusan yang bersangkut-paut dengan pihak-pihak yang berwajib. Kata "kasus" dipakai dalam bimbingan dan konseling sekadar untuk menunjukkan bahwa "ada sesuatu permasalahan tertentu pada diri seseorang yang perlu mendapatkan perhatian dan pemecahan demi kebaikan untuk diri yang bersangkutan".
Kata "kasus" sepenuhnya menghindarkan pengertian yang negatif, mencela atau meremehkan atau mengecilkan hati orang yang bersangkutan, menuduh, menjelek-jelekkan, mempergunjingkan, memperolokkan, membuka aib orang, dan lain sebagainya. Sebaliknya, pembicaraan tentang kasus yang menyangkut seseorang justru bermaksud hendak memahami permasalahan yang diderita orang itu sebagaimana adanya untuk dapat dicarikan jalan pemecahannya secara tepat dan berhasil. Jadi, tujuannya benar-benar positif ingin membantu seseorang yang sedang menderita kesulitan tertentu agar ia kembali dapat mencapai keadaan yang menyenangkan dan membahagiakan dalam arti yang sebenarnya.
Kasus I
Individualitas : – prestasi belajar rendah
– kurang berminat pada IPA
Sosialitas : – bentrok dengan guru
Moralitas : – melanggar tata tertib
– membolos
– terlambar masuk sekolah
Religiusitas :
Kasus II
Individualitas : – nilai-nilai jelek
Sosialitas : – pendiam
Moralitas :
Religiusitas :
Kasus III
Individualitas : – prestasi belajar amat rendah
– kesulitan alat pelajaran
Sosialitas : – sering bertengkar
– sukar menyesuaikan diri
– dimanjakan
– pemalu, takut, canggung, kaku
– diperlakukan bagai anak kecil
Moralitas :
Religiusitas :
Kasus IV
Individualitas : – hasil belajar cenderung rendah
Sosialitas : – menyendiri, kurang bergaul
– gugup
– dimanjakan
Moralitas :
Religiusitas :
Kasus V
Individualitas : – nilai di bawah rata-rata
Sosialitas : – berlaku kasar
Moralitas : – terlambat
– tidak senonoh
Religiusitas :
Kasus VI
Individualitas : – nilai rendah
– kurus dan pucat
Sosialitas : – suka berkelahi
– kasar terhadap orang lain
– diperlakukan sangat keras
– tidak bebas
Moralitas : – jarang masuk sekolah
– menyimpan ganja
– minggat
– mabuk-mabukan
– nakal
– kasar
Religiusitas :
Kasus VII
Individualitas : – mendapat nilai merah
Sosialitas : – dimanjakan
Moralitas :
Religiusitas : – kurang perhatian terhadap kehidupan beragama
Kasus VIII
Individualitas : – khawatir nilai merosot
Sosialitas : – tidak enak pada orang tua
Moralitas :
Religiusitas : – tidak lagi melakukan shalat
Satu butir permasalahan boleh jadi dapat ditempatkan pada lebih dari satu dimensi. Misalnya, butir "sering bertengkar" pada kasus I diletakkan pada dimensi sosialitas. Perilaku "sering bertengkar" itu kurang memahami aturan, sopan santun, dan nilai-nilai lain yang berlaku dalam berhubungan dengan orang lain. "Sering bertengkar" dapat juga ditempatkan pada dimensi moralitas.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian ialah pemahaman kita terhadap kasus berkaitan dengan "sehat" atau "sakit" jasmaniah (fisik) atau psikis (mental) seseorang yang menderita penyakit jasmani perlu mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan dari dokter, sedangkan mereka yang menderita penyakit psikis perlu berhubungan dengan psikiater untuk memperoleh pengobatan.
Gejala-gejala neurotik (ditandai oleh adanya gangguan emosional yang parah, kekhawatiran yang amat sangat, pobia) dan psikotik (ditandai oleh ketidakseimbangan yang parah dari fungsi-fungsi intelektual dan sosial serta menarik diri dari kenyataan yang terjadinya di sekitarnya).

B. Pemahaman terhadap Kasus
Ada tiga hal utama yang perlu diselenggarakan, yaitu penyikapan, pemahaman, dan penanganan. Oleh karena "penyikapan" menyangkut baik "pemahaman" maupun "penangana", maka dalam sajian berikut uraian tentang "penyikapan" akan diberikan pada urutan yang terakhir.
Contoh lain, misalnya seorang siswa di kelas sering mengantuk. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kasus mengantuk perlu dilakukan penjelajahan yang luas dan intensif, misalnya melalui wawancara khusus dengan siswa tersebut (wawancara konseling), memeriksa kumpulan data (cumulative record) yang ada di sekolah.
Bekal bagi pengembangan pemahaman terhadap suatu kasus ialah bagaimana dapat dibayangkan berbagai kemungkinan yang bersangkut-paut dengan kasus itu, terutama dilihat dari segi rincian permasalahannya, kemudian sebab-sebabnya, dan kemungkinan akibat-akibatnya.
Pada diri konselor (yaitu orang yang berkehendak dan amat berkepentingan dengan pemahaman yang mendalam tentang kasus yang dialaminya).
Gambaran masalah yang lebih rinci, ialah:
– nilai-nilai yang diperoleh banyak rendah, malahan tidak lulus;
– hanya sedikit saja melakukan kegiatan belajar di rumah;
– kurang serius mengikuti perkuliahan;
– kurang memiliki buku-buku dan kelengkapan perkuliahan lainnya;
– merasa risi, gelisah dan salah tingkah jika berada di dekat dosen yang dimaksudkannya itu;
– ingin menghindar dari dosen yang dimaksudkannya itu.
Sedangkan kemungkinan sebab-sebabnya:
– kurang menyukai jurusan yang dimasukinya;
– ada satu atau lebih mata kuliah yang tidak disukainya;
– proses belajar-mengajar yang dikembangkan dosen dalam perkuliahan kurang merangsang mahasiswa untuk belajar dengan baik;
– suasana tempat tinggalnya kurang menunjang baginya untuk belajar dengan baik;
– terlalu banyak kegiatan di luar perkuliahan sehingga mengganggu konsentrasi belajar;
– mahasiswa tersebut cantik dan menarik;
– pandai menggoda laki-laki.
Dan kemungkinan akibatnya:
– nilai-nilainya bertambah merosot;
– terjadi keretakan hubungan dengan dosen yang disebutkan, atau terjadi hubungan yang lebih erat dan lebih jauh sehingga keluarga dosen itu (kalau ia sudah berkeluarga) menjadi berantakan;
– masa depan kelanjutan studinya terancam;
– masa depan perkawinannya dipertanyakan.
Konsep atau ide-ide tentang rincian masalah, kemungkinan sebab dan kemungkinan akibat merupakan bekal dan ancangan bagi konselor untuk berusaha menjelajahi kasus yang dihadapinya untuk memperoleh pemahaman yang mantap tentang kasus itu.
Kemungkinan rincian, sebab, dan akibat permasalahan yang terkandung di dalam setiap kasus.
1. Prestasi belajar rendah: di bawah rata-rata: merosot (Kasus I, II, III, IV, V, VI, dan VIII)
Gambaran yang lebih rinci:
– nilai rapor banyak merahnya;
– nilai tugas, ulangan dan ujian rendah;
– dari waktu ke waktu nilai menurun;
– mendapat peringkat di bawah rata-rata untuk berbagai atau setiap mata pelajaran;
– mendapat peringkat di bawah rata-rata untuk keseluruhan murid dalam satu kelas.
Kemungkinan sebab:
– tingkat kecerdasan di bawah rata-rata;
– malas belajar;
– kurang minat dan perhatian;
– kekurangan sarana belajar;
– kekurangan kesempatan, atau waktu untuk belajar;
– suasana sosio-emosional di rumah kurang memungkinkan untuk belajar dengan baik;
– proses belajar-mengajar di sekolah kurang merangsang;
– suasana sosio-emosional sekolah kurang memungkinkan siswa belajar dengan baik.
Kemungkinan akibat:
– minat belajar semakin berkurang;
– tidak naik kelas;
– dikeluarkan dari sekolah;
– frustrasi yang mendalam;
– tidak mampu melanjutkan pelajaran;
– kesulitan mencari kerja.


2. Kurang berminat pada bidang studi tertentu (Kasus I)
Gambaran yang lebih rinci:
– tidak dapat memusatkan perhatian untuk mempelajari materi-materi yang terkait pada bidang studi tersebut;
– berusaha tidak mengikuti mata pelajaran yang bersangkutan dengan bidang studi tersebut;
– tidak mengerjakan tugas-tugas dalam mata pelajaran tersebut.
Kemungkinan sebab:
– tidak memiliki bakat dalam bidang tersebut;
– lingkungan tidak menyokong untuk pengembangan bidang tersebut;
– proses belajar mengajar untuk bidang tersebut tidak menyenangkan;
– dengan guru kurang menyenangkan;
– siswa sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi hasilnya selalu rendah;
– dorongan dari guru dan sekolah kurang;
– sarana belajar kurang menunjang;
– memilih bidang tersebut dari ikut-ikutan, atau dorongan orang tua atau orang lain.
Kemungkinan akibat:
– pindah jurusan;
– terjadi ketidaksesuaian antara keinginan orang tua dan pilihan siswa;
– kegiatan belajar untuk bidang-bidang studi lain menjadi terganggu.
3. Bentrok dengan guru (Kasus I)
Gambaran yang lebih rinci:
– tidak mengikuti pelajaran dengan guru tersebut;
– tidak mau bertemu dengan guru tersebut;
– jika bertemu tidak mau menegur guru tersebut;
– memakai kata-kata ataupun bersikap tidak sopan terhadap guru tersebut;
– mempengaruhi kawan-kawannya untuk bersikap serupa terhadap guru tersebut.
Kemungkinan sebab:
– tidak menyukai bidang studi yang diajarkan oleh guru tersebut;
– siswa berbuat kesalahan dan ketika ditegus oleh guru tersebut siswa tidak mau menerima teguran itu;
– berwatak pemberang;
– kurang memahami aturan dan sopan santun yang berlaku di sekolah;
– aturan dan sopan santun yang berlaku di lingkungan (dan di rumah) berbeda dengan yang berlaku di sekolah.
Kemungkinan akibat:
– memperoleh nilai “mati” dari guru yang bersangkutan;
– hubungan dan kegiatan belajar dengan guru-guru lain menjadi terganggu;
– tidak naik kelas;
– dikeluarkan dari sekolah.
4. Melanggar tata tertib (Kasus I)
Gambaran yang lebih rinci:
– sejumlah tata tertib sekolah tidak dipatuhi, misalnya: tentang kehadiran di sekolah, baju seragam, tempat duduk dalam kelas, penyelesaian tugas-tugas;
– pelanggaran tersebut kelihatannya bukan tanpa disengaja;
– pelanggaran tersebut dilakukan berkali-kali.
Kemungkinan sebab:
– tidak begitu memahami kegunaan masing-masing aturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah, aturan tersebut tidak didiskusikan dengan siswa sehingga siswa hanya terpaksa mengikutinya;
– siswa yang bersangkutan terbiasa hidup terlalu bebas, baik di rumah maupun di masyarakat;
– tindakan yang dilakukan terhadap pelanggaran terlalu keras sehingga siswa mereaksi secara tidak wajar (negatif);
– cirri khusus perkembangan remaja yang agak “sukar diatur” tetapi “belum dapat mengatur diri sendiri”;
– ketidaksukaan pada mata pelajaran tertentu dilampiaskan pada pelanggaran terhadap tata tertib sekolah.
Kemungkinan akibat:
– tingkah laku siswa makin tidak terkendali;
– terjadi kerenggangan hubungan antara guru dan murid;
– suasana sekolah dirasakan kurang menyenangkan bagi siswa;
– proses belajar-mengajar terganggu;
– kegiatan belajar siswa terganggu;
– nilai rendah;
– tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah.
5. Membolos (Kasus I)
Gambaran yang lebih rinci:
– berhari-hari tidak masuk sekolah;
– tidak masuk sekolah tanpa izin;
– sering keluar pada jam pelajaran tertentu;
– tidak masuk kembali setelah minta izin;
– masuk sekolah berganti hari;
– mengajak teman-teman untuk keluar pada mata pelajaran yang tidak disenangi;
– minta izin keluar dengan berpura-pura sakit atau alasan lainnya;
– mengirimkan surat izin tidak masuk dengan alasan yang dibuat-buat;
– tidak masuk kelas lagi setelah jam istirahat.
Kemungkinan sebab:
– tak senang dengan sikap dan perilaku guru;
– merasa kurang mendapatkan perhatian dari guru;
– merasa dibeda-bedakan oleh guru;
– proses belajar-mengajar membosankan;
– merasa gagal dalam belajar;
– kurang berminat terhadap mata pelajaran;
– terpengaruh oleh teman yang suka membolos;
– takut masuk karena tidak membuat tugas;
– tidak membayar kewajiban (SPP) tepat pada waktunya.
Kemungkinan akibat:
– minat terhadap pelajaran akan semakin kurang;
– gagal dalam ujian;
– hasil belajar yang diperoleh tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki;
– tidak naik kelas;
– penguasaan terhadap materi pelajaran tertinggal dari teman-teman lainnya;
– dikeluarkan dari sekolah.
6. Terlambat masuk sekolah (Kasus I dan IV)
Gambaran yang lebih rinci:
– sering tiba di sekolah setelah jam pelajaran dimulai;
– memakai waktu istirahat melebihi waktu yang ditentukan;
– sengaja melambat-lambatkan diri masuk kelas meskipun tahu jam pelajaran sudah mulai.
Kemungkinan sebab:
– jarak antara sekolah dan rumah jauh;
– kesulitan kendaraan;
– terlalu banyak kegiatan di rumah, membantu orang tua;
– terlambat bangun;
– gangguan kesehatan;
– tidak menyukai suasana sekolah;
– tidak menyukai satu atau lebih mata pelajaran;
– tidak menyiapkan pekerjaan rumah (PR);
– kurang mempunyai persiapan untuk kegiatan di kelas;
– terlalu asyik dengan kegiatan di luar sekolah.
Kemungkinan akibat:
– nilai rendah;
– tidak naik kelas;
– hubungan dengan guru terganggu;
– hubungan dengan kawan sekelas terganggu;
– kegiatan di luar sekolah tidak terkendali.
7. Pendiam (Kasus II)
Gambaran yang lebih rinci:
– kurang mau berbicara atau bertegus sapa;
– kurang akrab terhadap teman atau guru;
– tidak ceria.
Kemungkinan sebab:
– berwatak introvert;
– kurang sehat;
– mengalami gangguan dengan organ bicara;
– malu atau takut kepada orang lain;
– merasa tidak perlu atau tidak ada gunanya berbicara;
– mengalami kesulitan bahasa;
– sedang dirundung kesedihan atau suasana emosional lainnya yang cukup dalam.
Kemungkinan akibat:
– tidak disukai kawan dan pergaulan terganggu;
– kurang mampu mengembangkan penalaran melalui komunikasi lisan.
8. Kesulitan alat pelajaran (Kasus III)
Gambaran yang lebih rinci:
– tidak memiliki buku-buku untuk berbagai mata pelajaran;
– tidak cukup memiliki buku dan alat-alat tulis;
– tidak mampu membeli alat-alat pelajaran, seperti alat-alat untuk praktek berbagai mata pelajaran.
Kemungkinan sebab:
– orang tua tidak mampu;
– pemboros sehingga uang yang tersedia untuk alat-alat pelajaran terbelanjakan untuk yang lain;
– kurang akrab dengan kawan sehingga tidak dapat meminjam alat pelajaran yang diperlukan dari kawan;
– tidak mengetahui tersedianya dan cara memanfaatkan sumber belajar yang ada (misalnya perpustakaan);
– kurang rapi dan teliti sehingga alat-alat pelajaran yang dimiliki lekas rusak atau hilang.
Kemungkinan akibat:
– tertinggal dalam pelajaran;
– tugas-tugas tidak selesai;
– nilai rendah;
– semangat belajar menurun.
9. Bertengkar atau berkelahi (Kasus II dan VI)
Gambaran yang lebih rinci:
– sering salah paham dengan kawan;
– sombong;
– memperolokkan, mengejek dan menantang orang lain;
– tidak mau dilarang;
– ditakuti kawan-kawannya;
– tidak mau menerima pendapat orang lain;
– membentuk “kliek keras” yang tindakannya merugikan siswa-siswa yang lemah.
Kemungkinan sebab:
– pengendalian diri kurang;
– mau menang sendiri;
– merasa jagoan;
– hiperaktif;
– suasana rumah yang keras atau sebaliknya terlampau member hati (permisif).
Kemungkinan akibat:
– tidak disukai kawan dan guru;
– luka;
– melalaikan pelajaran;
– nilai rendah;
– tidak naik kelas;
– berurusan dengan polisi;
– dikeluarkan dari sekolah.
10. Sukar menyesuaikan diri (Kasus III)
Gambaran yang lebih rinci:
– sering terjadi salah paham dengan kawan;
– sombong atau tinggi hati;
– suka membanding-bandingkan dan menjelekkan orang lain;
– tidak mau menerima pendapat orang lain;
– curiga dan kurang percaya pada orang lain;
– pergaulan sangat terbatas.
Kemungkinan sebab:
– mau menang sendiri;
– memiliki standar yang berbeda dengan standar yang ada;
– banyak mengalami kekecewaan dalam berhubungan dengan orang lain;
– terlalu lama bergaul dengan sekelompok orang dalam suasana tertentu;
– suasana keluarga terlalu keras.
Kemungkinan akibat:
– sosialitas kurang berkembang sehingga kurang mendapat keuntungan dari pergaulannya dengan orang lain;
– tidak dapat mengambil manfaat dari lingkungan demi pengembangan dirinya.


11. Pemalu, takut, canggung, kaku, gugup (Kasus III dan IV)
Gambaran yang lebih rinci:
– berbicara tersendat-sendat, gagap;
– tidak berani bertatap muka dan berwawancara dengan orang lain;
– sering tertegun-tegun;
– salah tingkah;
– tidak pandai mengemukakan pendapat;
– terlalu perasa.
Kemungkinan sebab:
– diperlakukan terlalu keras, tidak bebas, tertekan;
– kurang bergaul;
– sering ditakut-takuti;
– selalu berada dalam keadaan kekurangan (misalnya dalam status sosial-ekonomi);
– frustrasi yang dalam.
Kemungkinan akibat:
– sosialitas kurang berkembang, sering dirugikan dalam berhubungan dengan orang;
– kemampuan dan bakat yang ada pada dirinya tidak dapat berkembang secara optimal, tidak ada yang dapat ditonjolkan pada dirinya.
12. Dimanjakan (Kasus III, IV, dan VII)
Gambaran yang lebih rinci:
– terlalu bebas, tidak dapat dikendalikan, bertindak semaunya sendiri;
– pemboros dan suka berfoya-foya;
– kurang memahami sopan santun atau aturan;
– kurang bertenggang rasa;
– ingin dipuji.


Kemungkinan sebab:
– memiliki kedudukan khusus dalam keluarga, seperti anak bungsu, anak tunggal, satu-satunya laki-laki atau perempuan, satu-satunya cucu tersayang yang dipelihara neneknya;
– mempunyai keistimewaan yang dibangga-banggakan orang tuanya, seperti sangat cantik, sangat pintar.
Kemungkinan akibat:
– pergaulan terlalu bebas, sehingga menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan;
– tidak dapat mengatur diri sendiri, sehingga sukar diharapkan mandiri;
– pelajaran dapat terlalaikan dengan akibat nilai jelek, tidak naik kelas, tidak lulus ujian.
13. Diperlakukan seperti anak kecil (Kasus III)
Gambaran yang lebih rinci:
– orang lain mengganggu dan memperlakukannya seperti anak kecil, digoda, dipermainkan, harus patuh, pendapatnya diremehkan;
– mereaksi negatif terhadap perlakuan orang tersebut, sehingga timbul dua jenis kontra-reaksi: makin dipermainkan oleh orang lain, atau tidak disenangi oleh orang lain.
Kemungkinan sebab:
– tingkah laku memang kekanak-kanakan;
– tinggal di tempat orang-orang yang kurang menghargai dan menyayangi orang lain (khususnya orang yang lebih muda);
– kurang pandai bergaul.
Kemungkinan akibat:
– bersikap memberontak;
– sukar menyesuaikan diri;
– perkembangan sosialitas terganggu;
– rendah diri.
14. Menyendiri, kurang bergaul (Kasus IV)
Gambaran yang lebih rinci:
– sering memisahkan diri dari kawan, duduk sendiri;
– kurang mau dibawa serta dalam kegiatan kelompok;
– pendiam;
– tidak ceria, tertutup;
– suka termenung;
– tampak lemah.
Kemungkinan sebab:
– sedang mengalami suasana emosional yang cukup dalam sedih, frustrasi, marah, kecewa, malu;
– merasa rendah diri;
– diperlakukan terlalu keras.
Kemungkinan akibat:
– perkembangan sosialitas terganggu;
– pelajaran terabaikan dengan berbagai akibatnya.
15. Berlaku kasar (Kasus V dan VI)
Gambaran yang lebih rinci:
– sering melontarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain;
– suka mencaci maki orang lain;
– suka memberikan hukuman yang bersifat fisik;
– suka memarahi orang lain di depan orang banyak;
– suka menyerang orang lain untuk mempertahankan dirinya;
– suka memojokkan orang lain dengan kata-kata yang tidak senonoh untuk mempertahankan kelemahannya;
– tidak tergugah hatinya melihat orang lain mengalami musibah atau penderitaan;
– menolak dengan kata-kata keji permintaan maaf orang lain;
– suka menyampaikan kata-kata kotor pada orang lain bila marah;
– tidak mau meminta maaf.
Kemungkinan sebab:
– terbiasa diperlakukan secara kasar dalam keluarganya;
– sering diperlakukan secara kasar dalam pergaulannya;
– sering bergaul dengan orang-orang yang kasar;
– kompensasi terhadap kelemahan yang dia miliki;
– merasa mendapat pengalaman sukses dengan cara berlaku kasar dalam mencapai tujuannya;
– untuk melindungi dirinya dari kesalahan yang dia lakukan (mekanisme pertahanan diri).
Kemungkinan akibat:
– sukar mencari teman bergaul, dibenci oleh orang lain;
– dipencilkan dari pergaulan oleh masyarakat atau lingkungan;
– tidak dilibatkan dalam berbagai kegiatan oleh lingkungannya;
– nilai rendah, tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah;
– bisa mengalami stress dan darah tinggi karena hidupnya tidak tenang.
16. Tidak senonoh (Kasus V)
Gambaran yang lebih rinci:
– suka berkata cabul;
– menggoda dengan kasar jenis kelamin lain;
– suka mengintip;
– suka membaca buku cabul;
– membawa gambar-gambar cabul;
– membuat coret-coretan yang bernada cabul;
– memamerkan alat kelamin kepada orang lain.
Kemungkinan sebab:
– merasa iri terhadap orang lain;
– gangguan kepribadian/gangguan mental;
– kurang perhatian atau kurang kasih sayang;
– merasa tidak dihargai atau mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya;
– frustrasi karena kegagalan cinta, kegagalan belajar;
– terpengaruh dengan teman sebaya atau lingkungan tempat tinggal;
– mengalami penyimpangan seksual.
Kemungkinan akibat:
– dibenci oleh orang lain; disisihkan dari lingkungan sosial;
– hubungan dengan teman sebaya, terutama dengan jenis kelamin lain, terganggu;
– terbiasa dengan perbuatan yang keji atau amoral;
– kegiatan belajar terganggu;
– nilai rendah, tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah.
17. Kurus dan pucat (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
– berat badan merosot;
– sering tidak enak badan (sakit), lemah;
– tidak suka berolah raga;
– kurang enak makan;
– kurang bergairah, tidak ceria.
Kemungkinan sebab:
– mengidap penyakit tertentu;
– berkebiasaan hidup tidak sehat, seperti tidur kurang, merokok, makan tidak teratur dan kurang gizi.
Kemungkinan akibat:
– minat belajar berkurang dan pelajaran terganggu dengan berbagai akibatnya.
18. Diperlakukan sangat keras (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
– harus patuh pada perintah dan larangan;
– sering kali dimarahi, dihukum, bahkan kadang-kadang dihukum secara fisik;
– apabila yang bersangkutan bereaksi, larangan dan hukuman malahan diperkeras.
Kemungkinan sebab:
– sejak awalnya yang bersangkutan memang nakal, sehingga reaksi orang lain menjadi keras;
– orang tua atau guru otoriter.
Kemungkinan akibat:
– menjadi pasrah, kehilangan inisiatif;
– rendah diri;
– mencari kompensasi;
– terbawa menjadi bersikap dan berlaku keras pada orang lain, tidak mengenal kelembutan;
– anti sosial.
19. Tidak bebas (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
– selalu diatur tentang apa yang akan dikerjakan;
– selalu dicurigai ke mana akan pergi;
– tidak mendapat kesempatan bergaul dengan teman sebaya;
– dilarang pergi ke rumah teman;
– tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ide;
– tidak diperbolehkan berpacaran;
– harus tinggal di rumah sepulang sekolah;
– harus tepat waktu pulang dari sekolah;
– berteman harus disukai oleh orang tua;
– tidak diperbolehkan pergi karyawisata;
– pilihan sekolah lanjutan ditentukan oleh orang tua;
– orang tua selalu menuntut patuh atau menurut perintahnya.
Kemungkinan sebab:
– orang tua selalu ketat menerapkan disiplin dan otoriter;
– sekolah terlalu ketat menerapkan disiplin dan guru otoriter;
– pernah berdusta sehingga tidak dipercaya;
– orang tua sangat menyayangi sehingga khawatir atas kesehatan dan keselamatannya;
– orang tua menginginkan anaknya seperti yang mereka dambakan;
– orang tua kurang mengerti tentang aktivitas yang dilakukan di sekolah;
– orang tua kurang mengerti tentang kebutuhan anaknya.
Kemungkinan akibat:
– tidak luwes dalam bergaul;
– kurang berani berpendapat, akan muncul perasaan rendah diri, kurang percaya terhadap dirinya sendiri;
– bakat akan tidak terealisasikan secara optimal;
– cenderung pasif atau bekerja cenderung menunggu perintah;
– timbul reaksi melawan atau menentang.
20. Menyimpan ganja (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
– menyimpan daun ganja, dibungkus rapi, dalam lipatan buku yang tidak pernah dikeluarkan dari tas sekolah;
– daun ganja itu dari seseorang yang tidak diketahui namanya;
– daun ganja itu baru sekadar disimpan, belum pernah diapa-apakan.
Kemungkinan sebab:
– dia hendak dijadikan alat untuk pengedar ganja di lingkungan pelajar;
– ingin mencoba ganja, meskipun belum terlaksana;
– sebagai akibat pergaulan dengan “gank” sesama anak nakal;
– sebagai kompensasi lebih lanjut ataupun pelarian dari kehidupan keras dan mengecewakan yang dialaminya selama ini;
– belum tahu apa sebenarnya barang yang disimpannya, dan mau diapakan atau dikemanakan.
Kemungkinan akibat:
– terperangkap ke dalam jaringan pengedar ganja;
– mulai mengisap ganja dengan segala akibatnya;
– kalau ternyata terlibat dalam jaringan pengedar ganja mesti berurusan dengan polisi, karena pengedaran ganja dan sejenisnya adalah tindak kriminal;
– kalau ternyata sudah mengisap ganja harus berurusan dengan dokter, karena hal itu dapat mengakibatkan ketidakseimbangan fisik;
– pelajaran akan sangat terganggu dengan segenap implikasinya.
21. Minggat (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
– meninggalkan rumah tanpa izin/pemberitahuan mau ke mana;
– meninggalkan rumah beberapa hari/bulan, kemudian pulang;
– menyembunyikan diri di tempat famili.
Kemungkinan sebab:
– dimarahi oleh orang tua;
– tidak betah dengan suasana rumah;
– menampilkan ketidak setujuan terhadap keputusan orang tua;
– mencoba-coba hidup di luar pengawasan orang tua;
– dorongan teman untuk berontak;
– ingin bergabung dengan suatu kelompok/geng;
– tidak tahan akan kelakuan keluarga;
– malu yang berlebihan karena berbuat kesalahan.
Kemungkinan akibat:
– terjerumus pada tempat-tempat maksiat;
– menjadi korban tindakan kriminal;
– keluarga menjadi risau;
– pelajaran terganggu dengan berbagai akibatnya.

22. Mabuk-mabukan (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
– sering minum-minuman sehingga mabuk;
– berbuat demikian bersama “geng”-nya, di luar rumah;
– dapat memperoleh minuman yang demikian meskipun tidak diberi uang dari rumah;
– gejala mabuk kadang-kadang terbawa pulang ke rumah, seperti agak “teler”, muntah, dan tidur berlama-lama.
Kemungkinan sebab:
– sebagai kompensasi atau pelarian dari kehidupan keras dan mengecewakan yang dialaminya selama ini;
– pengaruh kawan se-“geng”-nya yang member fasilitas, dorongan dan penguatan untuk berbuat demikian itu.
Kemungkinan akibat:
– terjerumus lebih dalam lagi dalam dunia “geng” yang penuh dengan kekerasan, kekotoran, kegelapan;
– terlambatnya pengembangan pribadi secara menyeluruh;
– nilai rendah, tidak naik kelas, dikeluarkan dari sekolah.
23. Nakal (Kasus VI)
Gambaran yang lebih rinci:
– membuat coret-coretan pada dinding sekolah;
– berkelahi dengan teman;
– mengganggu teman dalam belajar;
– melawan kepada orang tua atau guru;
– mabuk-mabukan di pinggir jalan pada malam hari;
– dengan sengaja melanggar peraturan, seperti peraturan lalu lintas, peraturan sekolah;
Kemungkinan sebab:
– kurang perhatian dari keluarga atau kurang kasih sayang;
– ingin menarik perhatian orang lain;
– ingin dianggap jagoan;
– tidak mendapat perhatian atau perlakuan yang baik dari guru dan kawan-kawan;
– disiplin yang terlalu keras;
– pengaruh lingkungan sebaya yang nakal.
Kemungkinan akibat:
– mengganggu ketenteraman umum;
– menjadi bahan pergunjingan orang lain;
– jalannya peraturan sekolah terganggu;
– peralatan sekolah rusak;
– kegiatan belajar terganggu;
– terjerumus kepada tindakan kriminal.
24. Kurang perhatian terhadap kehidupan beragama (Kasus VII)
Gambaran yang lebih rinci:
– nilai pelajaran agama merah;
– penunaian kewajiban agama oleh anak kurang menjadi perhatian orang tuanya;
– perhatian terhadap pelajaran agama disepelekan, jauh di belakang perhatiannya terhadap pelajaran-pelajaran lain.
Kemungkinan sebab:
– contoh dan kontrol dari orang tua tentang penunaian kewajiban agama kurang kuat;
– pelajaran agama kurang menarik;
– belum tertanam kebiasaan menunaikan kewajiban agama;
– tidak memahami kaitan antara kehidupan keagamaan dengan hidup sehari-hari.


Kemungkinan akibat:
– kalau ketentuan “nilai mati” untuk pelajaran agama tetap diberlakukan secara konsekuen maka siswa tersebut akan tidak naik kelas;
– dikhawatirkan siswa tersebut akan makin kurang peduli terhadap keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta penunaian kewajiban agama; atau bahkan melecehkan agama; pengembangan religiusitas terhambat.
25. Tidak enak kepada orang tua (Kasus VIII)
Gambaran yang lebih rinci:
– orang tua mereaksi terlalu keras terhadap tingkah laku anaknya yang dianggap menyimpang;
– anak mereaksi agak negatif terhadap sikap dan tindakan orang tuanya itu.
Kemungkinan sebab:
– tingkah laku anak yang menyimpang itu dianggap orang tua terlalu berat;
– teguran awal yang cukup lunak mungkin telah terlebih dahulu dikemukakan oleh orang tua, tetapi anak tidak menghiraukannya;
– orang tua terlalu keras memberikan teguran;
– anak kurang memahami makna teguran orang tua dan tidak menerimanya secara wajar sebagai teguran yang tujuannya baik.
Kemungkinan akibat:
– hubungan antara orang tua semakin renggang;
– anak semakin tidak menghormati orang tua;
– nilai-nilai keluarga semakin lemah.
26. Tidak lagi melakukan shalat (Kasus VIII)
Gambaran yang lebih rinci:
– tadinya rajin shalat, sekarang tidak rajin, bahkan tidak shalat sama sekali.
Kemungkinan sebab:
– belum tertanam secara kuat pemahaman makna shalat yang sesungguh-sungguhnya sehingga terkena bias tertentu sedikit saja sudah luntur.
Kemungkinan akibat:
– makin terkikisnya kebiasaan dan pemahaman makna shalat yang sudah ada sebelumnya, serta berhenti shalat secara tetap;
– melemahnya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pelaksanaan kewajiban agama.

C. Penanganan Kasus
Penanganan kasus pada umumnya dapat dilihat sebagai keseluruhan perhatian dan tindakan seseorang terhadap kasus (yang dialami oleh seseorang) yang dihadapkan kepadanya sejak awal sampai dengan diakhirinya perhatian dan tindakan tersebut. Dalam pengertian itu penanganan kasus meliputi:
1. pengenalan awal tentang kasus (dimulai sejak mula kasus itu dihadapkan);
2. pengembangan ide-ide tentang rincian masalah yang terkandung di dalam kasus itu;
3. penjelajahan lebih lanjut tentang segala seluk-beluk kasus tersebut, dan akhirnya;
4. mengusahakan upaya-upaya kasus untuk mengatasi atau memecahkan sumber pokok permasalahan itu.
Dilihat secara lebih khusus, penanganan kasus dapat dipandang sebagai upaya-upaya khusus untuk secara langsung menangani sumber pokok permasalahan dengan tujuan utama teratasinya atau terpecahkannya permasalahan yang dimaksudkan.
Demikian, penanganan kasus dalam pengertian yang khusus menghendaki strategi dan teknik-teknik yang sifatnya khas sesuai dengan pokok permasalahan yang akan ditangani itu. Setiap permasalahan pokok biasanya memerlukan strategi dan teknik tersendiri. Untuk itu diperlukan keahlian konselor dalam menjelajahi masalah, penetapan masalah pokok yang menjadi sumber permasalahan secara umum, pemilihan strategi dan teknik penanganan atau pemecahan masalah pokok itu, serta penerapan/pelaksanaan strategi dan teknik yang dipilihnya itu.
Untuk masing-masing kasus, berbagai permasalahan yang dapat dikenali pada mulanya melalui:
1. deskripsi awal kasus;
2. ide-ide tentang rincian permasalahan, kemungkinan sebab dan kemungkinan akibat;
3. upaya dan hasil penjelajahan lebih lanjut terhadap setiap permasalahan yang terkandung vpada kasus yang dimaksud; dan
4. upaya penanganan secara khusus terhadap permasalahan pokok yang menjadi sumber permasalahan pada umumnya.
Penjelajahan masalah atau studi kasus yang lebih menyeluruh dan lengkap dapat ditempuh melalui berbagai cara, seperti wawancara dan lengkap dapat ditempuh melalui berbagai cara, seperti wawancara, analisis onecdotal report, case history, cumulative records, otobiografi, deskripsi tingkah laku dan perkembangan serta melakukan case conference.
Penanganan kasus, baik secara umum (menyeluruh) khusus, tidak mudah. Berbagai pihak dan sumber daya sering kali perlu diaktifkan dan dipadukan demi teratasinya permasalahan yang dialami oleh seseorang. Pihak-pihak dan sumber daya lain yang perlu dikerahkan ialah berbagai unsur yang terdapat lingkungan orang yang mengalami masalah, baik lingkungan sosial maupun lingkungan budaya. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengerahan berbagai pihak dan sumber serta unsur itu, ialah:
a. Perlibatan pihak-pihak, sumber dan unsur-unsur lain di luar diri orang yang mengalami masalah:
1) harus sepengetahuan dan seizin orang yang mengalami masalah itu;
2) bersifat suka rela dan tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak, sumber dan unsur-unsur lain yang dilibatkan itu.
b. Pihak-pihak, sumber dan unsur-unsur yang akan dilibatkan dan dipilih secara seksama:
1) agar dapat bermanfaat secara efektif dan efisien;
2) agar dapat disinkronisasi, dipantau dan dikontrol;
3) sesuai dengan asas-asas bimbingan dan konseling.
c. Peranan masing-masing pihak, sumber dan unsur yang dilibatkan hendaknya dijelaskan secara rinci bagi pihak, sumber, unsur yang dilibatkan itu, maupun bagi orang yang mengalami masalah itu sendiri.

D. Penyikapan terhadap Kasus
Penyikapan terhadap kasus berlangsung sejak awal penerimaan kasus untuk ditangani sampai dengan berakhirnya keterlibatan perhatian dan tindakan konselor terhadap kasus tersebut. Penyikapan yang menyeluruh itu mencakup segenap aspek permasalahan yang ada di dalam kasus dan segenap langkah ataupun pentahapan pada sepanjang proses penanganan kasus secara menyeluruh.
Penyikapan pada umumnya mengandung unsur-unsur kognisi, afeksi, dan perlakuan terhadap objek yang disikapinya. Unsur kognisi mengacu kepada wawasan, keyakinan, pemahaman, penghayatan, pertimbangan, dan pemikiran konselor tentang keberadaan manusia hakikat dimensi kemanusiaan dan pengembangannya, pengaruh lingkungan, peranan pelayanan bimbingan dan konseling, kasus dan berbagai permasalahan yang dikandungnya, pemahaman dan penanganan kasus. Unsure afeksi menyangkut suasana perasaan, emosi dan kecenderungan bersikap berkenaan dengan keberadaan manusia sampai dengan penanganan kasus tersebut.
Unsur-unsur kognisi yang mendasari penyikapan terhadap kasus yang dipetik dari pembahasan sejak Bab I pada garis besarnya ialah sebagai berikut:
1. Keyakinan dan penghayatan bahwa manusia ditakdirkan sebagai makhluk yang paling indah dan berderajat paling tinggi.
2. Keyakinan dan penghayatan bahwa keindahan dan derajat paling tinggi itu terwujud dalam bentuk kesenangan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dalam arti yang seluas-luasnya.
3. Pemahaman dan penghayatan bahwa keempat dimensi kemanusiaan perlu dikembangkan secara serempak dan optimal menuju perwujudan manusia seutuhnya.
4. Pemahaman dan penghayatan bahwa dalam perjalanan hidupnya seseorang dapat mengalami berbagai permasalahan yang mengganggu perkembangan keempat dimensi kemanusiaannya.
5. Pemahaman dan penghayatan bahwa faktor-faktor lingkungan, di samping faktor-faktor yang terkandung di dalam dimensi kemanusiaan, sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan dimensi-dimensi itu di satu segi, dan terhadap timbulnya permasalahan pada diri seseorang di segi lainnya.
6. Pemahaman dan penghayatan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling, bersama-sama dengan pelayanan pendidikan pada umumnya, mampu memberikan bantuan kepada orang-orang yang sedang mengalami perkembangan dan mengalami masalah demi teratasinya masalah-masalah mereka itu.
7. Pemahaman dan penghayatan bahwa seseorang yang sedang mengalami masalah tidak seharusnya dan tidak serta merta dianggap sebagai terlibat masalah kriminal atau perdata, ataupun sedang menderita penyakit jasmani atua penyakit rohani, atau sebagai orang tidak normal. Sebaliknya, seorang yang sedang mengalami masalah pertama-tama harus dianggap dan diperlakukan sebagai orang yang tidak tersangkut-paut pada perkara kriminal atau perdata, dan sebagai orang yang sehat dan normal.
8. Pemahaman dan penghayatan bahwa permasalahan seseorang yang sebenarnya besar kemungkinan tidak tepat sama dengan yang tampak pada pendeskripsian awal. Oleh karena itu diperlukan upaya pendalaman lebih lanjut untuk dapat dicapainya pemahaman yang lengkap dan mantap berkenaan dengan permasalahan tersebut.
9. Pemahaman dan penghayatan bahwa diperlukan strategi dan teknik-teknik khusus untuk mengatasi atau memecahkan masalah-masalah pokok yang dialami seseorang.
10. Pemahaman dan penghayatan bahwa dalam menangani permasalahan seseorang perlu dilibatkan berbagai pihak, sumber dan unsur untuk secara efektif dan efisien mengatasi atau memecahkan permasalahan tersebut.
Keyakinan, pemahaman dan penghayatan tersebut di atas dapat diturunkan ke dalam bentuk-bentuk pola tingkah laku yang mencerminkan kecenderungan efektif, antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan penghargaan dan penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
2. Berupaya, sesuai dengan keahlian yang dimiliki, ikut mengembangkan secara optimal keempat dimensi kemanusiaan secara selaras, serasi, dan seimbang menuju perwujudan manusia seutuhnya, demi kesenangan dan kebahagiaan kehidupan kemanusiaan di dunia dan di akhirat, baik secara individual maupun kelompok.
3. Merasa prihatin dan menaruh simpati kepada orang-orang yang mengalami permasalahan yang menghambat pengembangan keempat dimensi kemanusiaan dan merintangi tercapainya kondisi yang menyenangkan dan membahagiakan mereka.
4. Berusaha seoptimal mungkin menerapkan keahlian yang dimiliki untuk membantu orang-orang yang bermasalah agar masalah mereka itu dapat teratasi dalam waktu yang secepat dan dengan cara yang secepat mungkin.
5. Bersikap positif terhadap orang-orang yang mengalami masalah; tidak menudingnya terlibat dalam perkara criminal ataupun perdata, serta tidak menganggapnya abnormal, atau menderita sakit jasmani ataupun rohani sampai ternyata mereka memang memerlukan bantuan dari ahli-ahli penyakit jasmani atau rohani.
6. Bertindak hati-hati, teliti, tekun dan bertanggung jawab dalam menangani permasalahan seseorang, sejak awal diserahi tanggung jawab untuk menangani permasalahan itu sampai sedapat-dapatnya mencapai taraf pemecahan masalah yang paling jauh.
7. Dengan penuh kesadaran mengembangkan wawasan, ide-ide, strategi dan teknik-teknik serta menerapkannya secara tepat terhadap permasalahan yang dialami seseorang.
8. Tidak menahan permasalahan seseorang untuk ditangani sendiri saja, melainkan akan melibatkan dan mendayagunakan sebesar-besarnya pihak-pihak, sumber dan unsur-unsur lain yang diharapkan akan dapat memberikan kemudahan dan keuntungan bagi pemecahan masalah yang bersangkutan.
9. Tidak menutup kemungkinan untuk mengalihtangankan penanganan masalah kepada pihak lain, jika ternyata pihak lain itu lebih ahli.
Bentuk-bentuk perlakuan itu antara lain, ialah:
1. Menerima kasus yang dipercayakan kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
2. Mengembangkan wawasan tentang kasus itu secara lebih rinci, tentang kemungkinan sebab-sebab timbulnya setiap permasalahan yang terkandung di dalam kasus tersebut, dan kemungkinan akibat-akibat yang akan timbul apabila permasalahan tersebut berlarut-larut tidak tertangani.
3. Mengembangkan strategi dan menerapkan teknik-teknik yang tepat untuk mengatasi sumber-sumber pokok permasalahan.
4. Melibatkan berbagai pihak, sumber dan unsur apabila diyakini hal-hal tersebut akan membantu pemecahan masalah.
5. Mengkaji kemajuan upaya pemecahan masalah, sampai seberapa jauh upaya tersebut telah membuahkan hasil.


BAB III
PENGERTIAN BIMBINGAN DAN KONSELING

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Pengertian pelayanan bimbingan dan konseling dilaksanakan dari manusia, untuk manusia dan oleh manusia. Dari manusia, artinya pelayanan itu diselenggarakan berdasarkan hakikat keberadaan manusia dengan segenap dimensi kemanusiaannya. Untuk manusia, dimaksudkan bahwa pelayanan tersebut diselenggarakan demi tujuan-tujuan yang agung, mulia dan positif bagi kehidupan kemanusiaan menuju manusia seutuhnya, baik manusia sebagai individu maupun kelompok. Oleh manusia mengandung pengertian penyelenggara kegiatan itu adalah manusia dengan segenap derajat, martabat dan keunikan masing-masing yang terlibat di dalamnya. Proses bimbingan dan konseling seperti itu melibatkan manusia dan kemanusiaannya sebagai totalitas, yang menyangkut segenap potensi-potensi dan kecenderungan-kecenderungannya, perkembangannya, dinamika kehidupannya, permasalahan-permasalahannya, dan interaksi dinamis antara berbagai unsur yang ada itu.
Peristiwa bimbingan setiap kali dapat terjadi. Orang tua membimbing anak-anaknya; guru membimbing murid-muridnya, baik melalui kegiatan pengajaran maupun non pengajaran; para pemimpin membimbing warga yang dipimpinnya melalui berbagai kegiatan, misalnya berupa pidato, santiaji, rapat, diskusi, dan instruksi. Proses bimbingan dapat pula terjadi melalui media cetak (buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain), dan media elektronika (radio, televisi, film, video, tele komperensi, tele diskusi, dan lain-lain). Semua peristiwa bimbingan yang terlaksana seperti itu dapat disebut sebagai bimbingan informal yang bentuk, isi dan tujuan, serta aspek-aspek penyelenggaraan tidak terumuskan secara nyata.
Sesuai dengan tingkat perkembangan budaya manusia, muncullah kemudian upaya-upaya bimbingan yang selanjutnya disebut bimbingan formal. Bentuk, isi dan tujuan, serta aspek-aspek penyelenggaraan bimbingan (dan konseling) formal itu mempunyai rumusan yang nyata.
Bentuk nyata dari gerakan bimbingan (dan konseling) yang formal berasal dari Amerika Serikat yang telah dimulai pengembangannya sejak Frank Parson mendirikan sebuah badan bimbingan yang disebut Vocational Bureau di Boston pada tahun 1908. Badan itu selanjutnya diubah namanya menjadi Vocational Guidance Bureau (Jones, 1951).

1. Pengertian Bimbingan
Rumusan tentang bimbingan formal telah diusahakan orang setidaknya sejak awal abad ke-20, yaitu sebagaimana telah disinggung di atas, sejak dimulainya bimbingan yang diprakarsai oleh Frank Parson pada tahun 1908. Berbagai rumusan tersebut dikemukakan sebagai berikut:
Bimbingan sebagai bantuan yang diberikan kepada individu untuk dapat memilih, mempersiapkan diri, dan memangku suatu jabatan serta mendapat kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya itu (Frank Parson, dalam Jones, 1951).
bimbingan membantu individu untuk memahami dan menggunakan secara luas kesempatan-kesempatan pendidikan, jabatan, dan pribadi yang mereka miliki atau dapat mereka kembangkan, dan sebagai satu bentuk bantuan yang sistematik melalui mana siswa dibantu untuk dapat memperoleh penyesuaian yang baik terhadap sekolah dan terhadap kehidupan (Dunsmoor & Miller, dalam McDaniel, 1969).
Bimbingan membantu setiap individu untuk lebih mengenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri (Chiskolm, dalam McDaniel, 1959).
Bimbingan adalah bagian dari proses pendidikan yang teratur dan sistematik guna membantu pertumbuhan anak muda atas kekuatannya dalam menentukan dan mengarah hidupnya sendiri, yang pada akhirnya ia dapat memperoleh pengalaman-pengalaman yang dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat (Lefever, dalam McDaniel, 1959).
Bimbingan sebagai proses layanan yang diberikan kepada individu-individu guna membantu mereka memperoleh pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam membuat pilihan-pilihan, rencana-rencana, dan interprestasi-interprestasi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri yang baik (Smith, dalam McDaniel, 1959).
Bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan, yang memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik kepada individu-individu setiap usia untuk membantunya mengatur kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan pandangan hidupnya sendiri, membuat keputusan sendiri dan menanggung bebannya sendiri (Crow & Crow, 1960).
bimbingan membantu seseorang agar menjadi berguna, tidak sekadar mengikuti kegiatan yang berguna (Tiedeman, dalam Bernard & Fullmer, 1969).
Bimbingan dapat diartikan sebagai bagian dari keseluruhan pendidikan yang membantu menyediakan kesempatan-kesempatan pribadi dan layanan staf ahli dengan cara mana setiap individu dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan dan kesanggupannya sepenuh-penuhnya sesuai dengan ide-ide demokrasi (Mortensen & Schmuller, 1976).
Bimbingan merupakan segala kegiatan yang bertujuan meningkatkan realisasi pribadi setiap individu (Bernard & Fullmer, 1969).
Bimbingan sebagai pendidikan dan perkembangan yang menekankan proses belajar yang sistematik (Mathewson, dalam Bernard & Fullmer, 1969).
Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam membuat pilihan-pilihan dan penyesuaian-penyesuaian yang bijaksana. Bantuan itu berdasarkan atas prinsip demokrasi yang merupakan tugas dan hak setiap individu untuk memilih jalan hidupnya sendiri sejauh tidak mencampuri hak orang lain. Kemampuan membuat pilihan seperti itu tidak diturunkan (diwarisi), tetapi harus dikembangnya (Jones, Staffire & Stewart, 1970).
Hal-hal pokok yang terdapat dalam rumusan bimbingan tersebut, ialah:
Rumusan 1 (Parson, dalam Jones, 1951)
a. Bimbingan diberikan kepada individu.
b. Bimbingan mempersiapkan individu untuk memasuki suatu jabatan.
c. Bimbingan menyiapkan individu agar mencapai kemajuan dalam jabatan.
Rumusan 2 (Dunsmoor & Miller, dalam McDaniel, 1959)
a. Bimbingan berusaha membantu individu.
b. Bimbingan berusaha memahami dan menggunakan secara luas kesempatan-kesempatan yang tersedia yang meliputi kesempatan pendidikan, jabatan.
c. Bimbingan dilakukan secara sistematik.
d. Bimbingan bertujuan agar menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan kehidupan.
Rumusan 3 (Chiskolm, dalam McDaniel, 1959)
a. Bimbingan membantu setiap individu.
b. Bimbingan berusaha agar klien memahami diri sendiri.
Rumusan 4 (Lefever, dalam McDaniel, 1959)
a. Bimbingan merupakan bagian dari proses pendidikan.
b. Bimbingan dilakukan secara teratur dan sistematik.
c. Bimbingan diberikan kepada anak muda.
d. Bimbingan menentukan dan mengarahkan dirinya sendiri.
e. Bimbingan berusaha agar klien memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna.
Rumusan 5 (Smith, dalam McDaniel, 1959)
a. Bimbingan merupakan suatu proses layanan.
b. Bimbingan memberikan bantuan kepada individu.
c. Bimbingan bertujuan agar klien memperoleh pengetahuan dan keterampilan.
d. Bantuan yang diberikan melalui bimbingan digunakan untuk membuat pilihan-pilihan, rencana-rencana, dan interpretasi-interpretasi.
e. Bantuan untuk penyesuaian diri yang baik.
Rumusan 6 (Crow & Crow, 1960)
a. Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan seseorang laki-laki atau perempuan.
b. Bimbingan berguna agar klien memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik.
c. Bantuan melalui bimbingan diberikan kepada individu.
d. Bimbingan untuk klien sembarang usia.
e. Bimbingan bertujuan agar klien memperoleh kemandirian dalam membuat rencana dan membuat keputusan-keputusan.
f. Bimbingan bertujuan agar klien bertanggung jawab terhadap atas keputusan-keputusan yang dibuat.
Rumusan 7 (Tiederman, dalam Bernard & Fullmer, 1969)
Bimbingan membantu seseorang agar menjadi berguna.
Rumusan 8 (Mortensen & Schmuller, 1976)
a. Bimbingan merupakan bagian dari keseluruhan usaha pendidikan.
b. Bimbingan menyediakan berbagai kesempatan.
c. Bimbingan dilakukan oleh orang yang ahli.
d. Bimbingan mengembangkan kemampuan secara optimal.
e. Bimbingan sesuai dengan ide-ide demokratisasi bahwa masing-masing anak memiliki bakat, kemampuan, dan minat yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Rumusan 9 (Bernard & Fullmer, 1969)
a. Bimbingan itu dilakukan dengan berbagai cara.
b. Bimbingan itu dilakukan untuk meningkatkan perwujudan diri.
c. Bimbingan itu diberikan kepada individu.
Rumusan 10 (Mathewson, dalam Bernard & Fullmer, 1969)
a. Bimbingan merupakan pendidikan dan perkembangan.
b. Bimbingan ditekankan pada proses belajar.
Rumusan 11 (Jones, dkk, 1970)
a. Bimbingan merupakan proses bantuan.
b. Bimbingan diberikan kepada individu.
c. Bimbingan bertujuan agar klien dapat membuat pilihan-pilihan dan keputusan secara bijaksana.
d. Bimbingan dilaksanakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban memilih jalan hidupnya sendiri.
e. Dalam memilih jalan hidupnya itu, individu tidak boleh mencampuri hak orang lain.
f. Kemampuan membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan tidak diturunkan/diwarisi, melainkan harus dikembangkan sendiri oleh yang bersangkutan.
Merangkum keseluruhan isi yang terdapat di dalam semua rumusan tentang bimbingan di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur pokok bimbingan sebagai berikut:
1. Pelayanan bimbingan merupakan suatu proses. Ini berarti bahwa pelayanan bimbingan bukan sesuatu yang sekali jadi, melainkan melalui liku-liku tertentu sesuai dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanan ini.
2. Bimbingan merupakan proses pemberian bantuan. ”Bantuan” di sini tidak diartikan sebagai bantuan materiil (seperti uang, hadiah, sumbangan, dan lain-lain), melainkan bantuan yang bersifat menunjang bagi pengembangan pribadi bagi individu yang dibimbing.
3. Bantuan itu diberikan kepada individu, baik perseorangan maupun kelompok. Sasaran pelayanan bimbingan adalah orang yang diberi bantuan, baik orang seorang secara individual ataupun secara kelompok.
4. Pemecahan masalah dalam bimbingan dilakukan oleh dan atas kekuatan klien sendiri. Dalam kaitan ini, tujuan bimbingan adalah memperkembangkan kemampuan klien (orang yang dibimbing) untuk dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapinya, dan akhirnya dapat mencapai kemandirian.
5. Bimbingan dilaksanakan dengan menggunakan berbagai bahan, interaksi, nasihat, ataupun gagasan, serta alat-alat tertentu baik yang berasal dari klien sendiri, konselor maupun dari lingkungan.
6. Bimbingan tidak hanya diberikan untuk kelompok-kelompok umur tertentu saja, tetapi meliputi semua usia, mulai dari anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Dengan demikian bimbingan dapat diberikan di semua lingkungan kehidupan, di dalam keluarga, di sekolah, dan di luar sekolah.
7. Bimbingan diberikan oleh orang-orang yang ahli, yaitu orang-orang yang memiliki kepribadian yang terpilih dan telah memperoleh pendidikan serta latihan yang memadai dalam bidang bimbingan dan konseling.
8. Pembimbing tidak selayaknya memaksakan keinginan-keinginannya kepada klien karena klien mempunyai hak dan kewajiban untuk menentukan arah dan jalan hidupnya sendiri, sepanjang dia tidak mencampuri hak-hak orang lain.
9. Satu hal yang belum tersurat secara langsung dalam rumusan-rumusan di atas ialah: bimbingan dilaksanakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Upaya bimbingan, baik bentuk, isi dan tujuan, serta aspek-aspek penyelenggaraannya tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Norma tersebut berupa berbagai aturan, nilai dan ketentuan yang bersumber dari agama, adat, hukum, ilmu dan kebiasaan yang diberlakukan dan berlaku di masyarakat.
Berdasarkan butir-butir pokok tersebut maka yang dimaksud dengan bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan; berdasarkan norma-norma yang berlaku.

2. Pengertian Konseling
Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu ”consilium” yang berarti ”dengan” atau ”bersama” yang dirangkai dengan ”menerima” atau ”memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari ”sellan” yang berarti ”menyerahkan” atau ”menyampaikan”.
konseling adalah kegiatan di mana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, di mana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Konselor tidak memecahkan masalah untuk klien. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri tanpa bantuan (Jones, 1951).
interaksi yang (a) terjadi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien; (b) terjadi dalam suasana yang profesional; (c) dilakukan dan dijaga sebagai alat memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien (Pepinsky & Pepinsky, dalam Shertzer & Stone, 1974).
suatu proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu oleh karena masalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja yang profesional, yaitu orang yang telah terlatih dan berpengalamn membantu orang lain mencapai pemecahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi (Maclean, dalam Shertzer & Stone, 1974).
suatu proses di mana konselor membantu konseli membuat interpretasi-interpretasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuatnya (Smith, dalam Sherter & Stone, 1974).
Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya, dan untuk mencapai perkembangan optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya, proses tersebut dapat terjadi setiap waktu (Division of Conseling Psychology).
suatu rangkaian pertemuan langsung dengan individu yang ditujukan pada pemberian bantuan kepadanya untuk dapat menyesuaikan dirinya secara lebih efektif dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya (McDaniel, 1956).
proses dalam mana konselor membantu konseli membuat interpretasi-interpretasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian yang perlu dibuatnya (A.C. English, dalam Shertzer & Stone, 1974).
Konselingg adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli dibantu untuk memahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang (Tolbert, 1959).
membantu individu agar dapat menyadari dirinya sendiri dan memberikan reaksi terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan yang diterimanya, selanjutnya, membantu yang bersangkutan menentukan beberapa makna pribadi bagi tingkah laku tersebut dan mengembangkan serta memperjelas tujuan-tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku di masa yang akan datang (Blocher, dalam Shertzer & Stone, 1974).
Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasi ketiga hal tersebut (Bernard & Fullmer, 1969).
¼proses mengenai seseorang individu yang sedang mengalami masalah (klien) dibantu untuk merasa dan bertingkah laku dalam suasana yang lebih menyenangkan melalui interaksi dengan seseorang yang tidak bermasalah, yang menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan tingkah laku yang memungkinkannya berperan secara lebih efektif bagi dirinya sendiri dan lingkungannya (Lewis, dalam Shertzer & Stone, 1974).
Hal-hal pokok yang terkandung dalam masing-masing rumusan konseling tersebut adalah sebagai berikut:
Rumusan 1 (Jones, 1951)
a. Konseling terdiri atas kegiatan; pengungkapan fakta atau data tentang siswa, serta pengarahan kepada siswa untuk dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapinya.
b. Bantuan itu diberikan secara langsung kepada siswa.
c. Tujuan konseling adalah agar siswa dapat mencapai perkembangan yang semakin baik, semakin maju.
Rumusan 2 (Pepinsky & Pepinsky, dalam Sherzter & Stone, 1974)
a. Konseling merupakan proses interaksi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien.
b. Dilakukan dalam suasana profesional.
c. Berfungsi dan bertujuan sebagai alat (wadah) untuk memudahkan perubahan tingkah laku klien.
Rumusan 3 (Mclean, dalam Sherzter & Stone, 1974)
a. Konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan.
b. Dilakukan dalam suasana hubungan tatap muka.
c. Individu yang dikonseling adalah individu yang sedang mengalami gangguan atau masalah.
d. Dilakukan oleh orang yang ahli (profesional), yaitu orang yang telah terlatih baik dan telah memiliki pengalaman.
e. Bertujuan untuk mengatasi suatu masalah/gangguan.
Rumusan 4 (Smith, dalam Sherzter & Stone, 1974)
a. Konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan.
b. Bantuan itu dilakukan dengan menginterpretasikan fakta-fakta atau data, baik mengenai diri individu yang dibimbing sendiri maupun lingkungannya, khususnya yang menyangkut pilihan-pilihan, dan rencana-rencana yang akan dibuat.
Rumusan 5 (Devision of Counseling Pschology)
a. Konseling merupakan proses pemberian bantuan.
b. Bantuan diberikan kepada individu-individu yang sedang mengalami hambatan atau gangguan dalam proses perkembangannya.
c. Konseling dapat dilakukan pada setiap waktu.
d. Konseling bertujuan agar individu dapat mencapai perkembangan yang optimal.
Rumusan 6 (McDaniel, 1965)
a. Konseling merupakan rangkaian pertemuan antara konselor dengan klien.
b. Dalam pertemuan itu konselor membantu klien mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
c. Tujuan dan pemberian bantuan itu adalah agar klien dapat menyesuaikan dirinya, baik dengan diri sendiri maupun dengan lingkungannya.
Rumusan 7 (Tolbert, 1959)
a. Konseling dilakukan dalam suasana hubungan tatap muka antara dua orang.
b. Konseling dilakukan oleh orang yang ahli (memiliki kemampuan khusus di bidang konseling).
c. Konseling merupakan wahana proses belajar bagi klien, yaitu belajar memahami diri sendiri, membuat rencana untuk masa depan, dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi.
d. Pemahaman diri dan pembuatan rencana untuk masa depan itu dilakukan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan klien sendiri.
e. Hasil-hasil konseling harus dapat mewujudkan kesejahteraan, baik bagi diri pribadi maupun masyarakat.
Rumusan 8 (Blocher, dalam Sherzter & Stone, 1974)
a. Konseling merupakan bantuan yang diberikan kepada individu.
b. Tujuan konseling adalah agar individu dapat memahami dirinya sendiri, dapat memberikan reaksi (tanggapan) terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan, dan dapat mengembangkan serta memperjelas tujuan-tujuan hidupnya.
Rumusan 9 (Bernard & Fullmer, 1969)
a. Konseling meliputi hubungan antarindividu untuk mengungkapkan kebutuhan, motivasi, dan potensi.
b. Konseling bertujuan agar individu yang dibimbing mampu mengapresiasi kebutuhan, motivasi dan potensi-potensinya.
Rumusan 10 (Lewis, dalam Sherzter & Stone, 1974)
a. Konseling merupakan proses pemberian bantuan kepada individu.
b. Dilakukan dalam suasana yang menyenangkan klien.
c. Konselor memberikan informasi dan reaksi-reaksi yang dapat merangsang klien untuk bertingkah laku secara efektif.
d. Berguna bagi diri pribadi dan masyarakat.
Dengan memperhatikan satu-persatu rumusan-rumusan yang disajikan dffseperti berikut:
a. Rumusan yang paling awal lebih menekankan pada masalah-masalah kognitif (yaitu membuat interpretasi-interpretasi tentang data atau fakta) sedangkan definisi mutakhir lebih menekankan pada pengalaman-pengalaman afektif (menetapkan beberapa makna terhadap perilaku-perilaku).
b. Rumusan yang lebih awal pada umumnya mengidentifikasi konseling sebagai hubungan empat mata (antara seorang konselor dengan seorang klien), sedangkan pada definisi yang mutakhir dimungkinkan diselenggarakan konseling lebih dari seorang klien.
c. Semua rumusan, baik langsung ataupun tidak langsung, menyatakan sxdsr5ty]bukanlah kejadian tunggal tetapi melibatkan tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian yang sekuensial menuju ke arah pencapaian suatu tujuan.
d. Rumusan-rumusan itu pada umumnya memperlihatkan bahwa hubungan dalam konseling itu ditandai oleh adanya kehangatan, pemahaman, penerimaan, kebebasan, dan keterbukaan.
e. Sebagian dari definisi itu menggambarkan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan konseling (konselor dan klien). Konselor sebagai ahli, sebagai orang yang lebih tua, sebagai orang yang lebih matang, sebagai orang yang memiliki pengetahuan; sedangkan klien sebagai orang yang sedang mengalami gangguan, masalah, kebingungan, atau frustrasi.
f. Hampir semua rumusan konseling menyatakan bahwa pengaruh dari konseling adalah peningkatan atau perubahan dalam tingkah laku klien.
Kendatipun dikemukakan dengan cara dan gaya yang berbeda-beda, namun di antara berbagai rumusan itu terdapat beberapa kesamaan. Kesamaan itu menyangkut ciri-ciri pokok berikut ini:
a. Konseling melibatkan dua orang yang saling berinteraksi dengan jalan mengadakan komunikasi langsung, mengemukakan dan memperhatikan dengan saksama isi pembicaraan, gerakan-gerakan isyarat, pandangan mata, dan gerakan-gerakan lain dengan maksud untuk meningkatkan pemahaman kedua belah pihak yang terlibat di dalam interaksi itu.
b. Model interaksi di dalam konseling itu terbatas pada dimensi verbal, yaitu konselor dan klien saling berbicara. Klien berbicara tentang pikiran-pikirannya, tentang perasaan-perasaannya, tentang perilaku-perilakunya, dan banyak lagi tentang dirinya. Di pihak lain, konselor mendengarkan dan menanggapi hal-hal yang dikemukakan klien dengan maksud agar klien memberikan reaksinya dan berbicara lagi lebih lanjut.
c. Interaksi antara konselor dan klien berlangsung dalam waktu yang relatif lama dan terarah kepada pencapaian tujuan.
d. Tujuan dari hubungan konseling ialah terjadinya perubahan pada tingkah laku klien.
e. Konseling merupakan proses yang dinamis, di mana individu klien dibantu untuk dapat mengembangkan dirinya, mengembangkan kemampuan-kemampuannya dalam mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi.
f. Konseling didasari atas penerimaan konselor secara wajar tentang diri klien, yaitu atas dasar penghargaan terhadap harkat dan martabat klien.
Dengan ciri-ciri pokok demikian itu dapat dirumuskan bahwa dengan singkat pengertian konseling, yaitu: konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.

B. Istilah Penyuluhan dan Konseling
Istilah konseling dalam buku ini digunakan untuk menggantikan istilah "penyuluhan" yang selama ini menyertai kata bimbingan, yaitu kesatuan istilah "bimbingan dan penyuluhan".
Masyarakat umum telah mengenal istilah bimbingan dan penyuluhan sebagai terjemahan dari istilah asing "Guidance and Counseling". Dengan demikian yang dimaksud dengan "penyuluhan" di sini adalah sesuatu yang sama artinya dengan konseling. Istilah mana yang dipakai, penyuluhan atau konseling, memang masih menjadi bahan ketidaksesuaian di antara berbagai pihak, baik mereka yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam profesi bimbingan dan konseling itu sendiri.

C. Perkembangan Konsepsi Bimbingan dan Konseling
Di negara-negara yang bimbingan dan konselingnya telah maju, terutama Amerika Serikat, perkembangan gerakan tentang bimbingan dan konseling yang memberikan makna berbeda terus berlangsung. Miller (1961) meringkaskan perkembangan bimbingan dan konseling ke dalam lima periode. Pada awal perkembangan gerakan bimbingan yang diprakarsai oleh Frank Parson, pengertian bimbingan baru mencakup bimbingan jabatan. Pada tahap awal ini, yang umumnya disebut sebagai periode Parsonian, bimbingan dilihat sebagai usaha mengumpulkan berbagai keterangan tentang individu dan tentang jabatan. Pada periode kedua, gerakan bimbingan lebih menekankan pada bimbingan pendidikan.
Pada periode ketiga, pelayanan untuk penyelesaian diri mendapat perhatian utama. Pada periode ini disadari benar bahwa pelayanan bimbingan tidak hanya disangkutpautkan dengan usaha-usaha pendidikan saja, tidak pula hanya mencocokkan individu untuk jabatan-jabatan tertentu saja, melainkan juga bagi peningkatan kehidupan mental. Upaya bimbingan ditekankan adanya upaya untuk membantu penyesuaian diri individu terhadap dirinya sendiri, lingkungan, dan masyarakat. Para ahli bimbingan pada periode ketiga menyadari bahwa apa yang mereka lakukan "bukan hanya sekadar menyediakan bimbingan atau memberikan latihan; mereka membantu individu memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan individu itu yang kadang-kadang amat pelik dan mendasar" (Belkin, 1975).
Periode keempat gerakan bimbingan menekankan pentingnya proses perkembangan individu. Bimbingan dihubungkan dengan usaha individu untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya; membantu individu dalam mengembangkan potensi dan kemampuannya dalam mencapai kematangan dan kedewasaan menjadi tujuan yang utama. Periode kelima, tampak adanya dua arah yang berbeda, yaitu kecenderungan yang ingin kembali ke periode pertama dan kecenderungan yang lebih menekankan pada rekonstruksi sosial (dan personal) dalam rangka membantu pemecahan maalah yang dihadapi individu.
Perkembangan yang lebih lanjut tentang rumusan bimbingan dan konseling. Belkin (1975) secara tegas menolak konsep, rumusan ataupun penjelasan yang mengecilkan arti istilah konseling. Ia bahkan mengusulkan, daripada meletakkan konseling sebagai bagian dari bimbingan, adalah akan lebih baik dan menguntungkan untuk membangun rumusan tentang konseling yang meliputi juga segala sesuatu yang selama ini disebutkan sebagia pelayanan bimbingan.
Berdasarkan uraian di atas secara praktis, tidak ada gunanya membedakan tugas atau ruang lingkup kerja konseling di satu sisi dan bimbingan di sisi lain. Keduanya disatukan saja dan digunakan satu istilah, yaitu konseling. Profesi konseling memiliki tujun dan arah yang lebih jelas. Lebih jauh, kegiatan konseling tidak hanya terikat dan terbatas pada lingkungan sekolah saja, melainkan meluas sampai meliputi pekerjaan dengan sasaran keseluruhan kehidupan kemanusiaan di masyarakat luas.



D. Tujuan Bimbingan dan Konseling
untuk membantu individu membuat pilihan-pilihan, penyesuaian-penyesuaian dan interpretasi-interpretasi dalam hubungannya dengan situasi-situasi tertentu (Hamrin & Clifford, dalam Jones, 1951).
untuk memperkuat fungsi-fungsi pendidikan (Bradshow, dalam McDaniel, 1956).
untuk membantu orang-orang menjadi insane yang berguna, tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan-kegiatan yang berguna saja (Tiedeman, dalam Bernard & Fullmer, 1969).
Dengan proses konseling klien dapat:
– Mendapat dukungan selagi klien memadukan segenap kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.
– Memperoleh wawasan baru yang lebih segar tentang berbagai alternatif, pandangan dan pemahaman-pemahaman, serta keterampilan-keterampilan baru.
– Menghadapi ketakutan-ketakutan sendiri; mencapai kemampuan untuk mengambil keputusan dan keberanian untuk melaksanakannya; kemampuan untuk mengambil risiko yang mungkin ada dalam proses pencapaian tujuan-tujuan yang dikehendaki (Coleman, dalam Thompson & Rudolph, 1983).
Tujuan konseling dapat terentang dari sekadar klien mengikuti kemauan-kemauan konselor sampai pada masalah pengambilan keputusan, pengembangan kesadaran, pengembangan pribadi, penyembuhan, dan penerimaan diri sendiri (Thompson & Rudolph, 1983).
pengembangan yang mengacu pada perubahan positif pada diri individu merupakan tujuan dari semua upaya bimbingan dan konseling (Myers, 1992).
Setiap rumusan tujuan tersebut mengandung hal-hal pokok sebagai berikut:
Rumusan 1 (Hamrin & Clifford, dalam Jones, 1951)
Agar individu dapat:
– Membuat pilihan-pilihan.
– Membuat penyesuaian-penyesuaian.
– Membuat interprestasi-interpretasi.
Rumusan 2 (Broadshow, dalam McDaniel, 1956)
Memperkuat fungsi-fungsi pendidikan.
Rumusan 3 (Shoben, dalam Bernard & Fullmer, 1969)
Rekonstruksi budaya sekolah.
Rumusan 4 (Tiedeman, dalam Bernard & Fullmer, 1969)
Membantu orang agar menjadi insan yang berguna.
Rumusan 5 (Colleman, dalam Thompson & Rudolph, 1983)
Bimbingan dan konseling bertujuan:
– Memberikan dukungan.
– Memberikan wawasan, pandangan, pemahaman, keterampilan dan alternatif baru.
– Mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Rumusan 6 (Thompson & Rudolph, 1983)
Bimbingan dan konseling bertujuan agar klien:
– Mengikuti kemauan-kemauan/saran-saran konselor.
– Mengadakan perubahan tingkah laku secara positif.
– Melakukan pemecahan masalah.
– Melakukan pengambilan keputusan, pengembangan kesadaran, dan pengembangan pribadi.
– Mengembangkan penerimaan diri.
– Memberikan pengukuhan.
Rumusan 7 (Myers, 1992)
Membantu individu untuk memperkembangkan dirinya, dalam arti mengadakan perubahan-perubahan positif pada diri individu tersebut.
Tujuan umum bimbingan dan konseling adalah untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (seperti kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi), serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya.
Masalah-masalah individu bermacam ragam jenis, intensitas, dan sangkut pautnya, serta masing-masing bersifat unik. Oleh karena itu tujuan khusus bimbingan dan konseling untuk masing-masing individu bersifat unik pula. Tujuan bimbingan dan konseling untuk seorang individu berbeda dari (dan tidak boleh disamakan dengan) tujuan bimbingan dan konseling untuk individu lainnya.

E. Asas-asas Bimbingan dan Konseling
Dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling kaidah-kaidah tersebut dikenal dengan asas-asas bimbingan dan konseling, yaitu ketentuan-ketentuan yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan itu.

1. Asas Kerahasiaan
Segala sesuatu yang dibicarakan klien kepada konselor tidak boleh disampaikan kepada orang lain, atau lebih-lebih hal atau keterangan yang tidak boleh atau tidak layak diketahui orang lain. Asas kerahasiaan ini merupakan asas kunci dalam usaha bimbingan dan konseling.
2. Asas Kesukarelaan
Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak si terbimbing atau klien, maupun dari pihak konselor. Klien diharapkan secara suka dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa, menyampaikan masalah yang dihadapinya, serta mengungkapkan segenap fakta, data, dan seluk-beluk berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor, dan konselor juga hendaknya dapat memberikan bantuan dengan tidak terpaksa, atua dengan kata lain konselor memberikan bantuan dengan ikhlas.

3. Asas Keterbukaan
Dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling sangat diperlukan suasana keterbukaan, baik keterbukaan dari konselor maupun keterbukaan dari klien.
Keterbukaan di sini ditinjau dari dua arah. Dari pihak klien diharapkan pertama-tama mau membuka diri sendiri sehingga apa yang ada pada dirinya dapat diketahui oleh orang lain (dalam hal ini konselor), dan kedua mau membuka diri dalam arti mau menerima saran-saran dan masukan lainnya dari pihak luar. Dari pihak konselor, keterbukaan terwujud dengan kesediaan konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan klien dan mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itu memang dikehendaki oleh klien. Dalam hubungan yang bersuasana seperti itu, masing-masing pihak bersifat transparan (terbuka) terhadap pihak lainnya.

4. Asas Kekinian
Asas kekinian mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan. Jika diminta bantuan oleh klien atau jelas-jelas terlihat misalnya adanya siswa yang mengalami masalah, maka konselor hendaklah segera memberikan bantuan. Konselor tidak selayaknya menunda-nunda memberi bantuan dengan berbagai dalih. Dia harus mendahulukan kepentingan klien daripada yang lain-lain. Jika dia benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk tidak memberikan bantuannya kini, maka dia harus dapat mempertanggungjawabkan bahwa penundaan yang dilakukan itu justru kepentingan klien.

5. Asas Kemandirian
Pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan menjadikan si terbimbing dapat berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain atau tergantung pada konselor. Individu yang dibimbing setelah dibantu diharapkan dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok mampu:
a. Mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana adanya.
b. Menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis.
c. Mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri.
d. Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan itu.
e. Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat, dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.
Kemandirian dengan ciri-ciri umum di atas haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan peranan klien dalam kehidupan sehari-hari. Kemandirian sebagai hasil konseling menjadi arah dari keseluruhan proses konseling, dan hal itu didasari baik oleh konselor maupun klien.

6. Asas Kegiatan
Asas ini merujuk pada pola konseling “multi dimensional” yang tidak hanya mengandalkan transaksi verbal antara klien dan konselor. Dalam konseling yang berdimensi verbal pun asas kegiatan masih harus terselenggara, yaitu klien aktif menjalani proses konseling dan aktif pula melaksanakan/menerapkan hasil-hasil konseling.

7. Asas Kedinamisan
Usaha pelayanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada diri klien, yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Perubahan itu tidaklah sekadar mengulang hal yang lama, yang bersifat monoton, melainkan perubahan yang selalu menuju ke suatu pembaruan, sesuatu yang lebih maju, dinamis sesuai dengan arah perkembangan klien yang dikehendaki.

8. Asas Keterpaduan
Untuk terselenggaranya asas keterpaduan, konselor perlu memiliki wawasan yang luas tentang perkembangan klien dan aspek-aspek lingkungan klien, serta berbagai sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah klien. Kesemuanya itu dipadukan dalam keadaan serasi dan saling menunjang dalam upaya bimbingan dan konseling.

9. Asas Kenormatifan
Usaha bimbingan dan konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, baik ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum/negara, norma ilmu, maupun kebiasaan sehari-hari.

10. Asas Keahlian
Asas keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana bidang bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman. Teori dan praktek bimbingan dan konseling perlu dipadukan. Oleh karena itu, seorang konselor ahli harus benar-benar menguasai teori dan praktek konseling secara baik.



11. Asas Alih Tangan
Dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling, asas alih tangan jika konselor sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu individu, namun individu yang bersangkutan belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka konselor dapat mengirim individu tersebut kepada petugas atau badan yang lebih ahli.

12. Asas Tutwuri Handayani
Asas ini menunjuk pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara konselor dan klien. Lebih-lebih di lingkungan di sekolah, asas ini makin dirasakan keperluannya dan bahkan perlu dilengkapi dengan “ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso”.
Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan pada waktu klien mengalami masalah dan menghadap kepada konselor saja, namun di luar hubungan proses bantuan bimbingan dan konseling pun hendaknya dirasakan adanya dan manfaatnya pelayanan bimbingan dan konseling itu.

F. Kesalahpahaman dalam Bimbingan dan Konseling
Kesalahpahaman tersebut pertama-tama perlu dicegah penyebarannya, dan kedua perlu diluruskan apabila diinginkan agar gerakan pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya dapat berjalan dan berkembang dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan dan praktek penyelenggaraannya.
Kesalahpahaman yang sering dijumpai di lapangan antara lain adalah sebagai berikut:



1. Bimbingan dan Konseling Disamakan Saja dengan atau Dipisahkan Sama Sekali dari Pendidikan
Ada dua pendapat yang ekstrem berkenaan dengan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa bimbingan dan konseling sama saja dengna pendidikan. Pendapat ini menganggap bahwa pelayanan khusus bimbingan dan konseling tidak perlu di sekolah.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar dilaksanakan secara khusus oleh tenaga yang benar-benar ahli dengan perlengkapan (alat, tempat dan sarana) yang benar-benar memenuhi syarat. Pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktek pendidikan sehari-hari.

2. Konselor di Sekolah Dianggap sebagai Polisi Sekolah
Masih banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah.
Petugas bimbingan dan konseling bukanlah pengawas ataupun polisi yang selalu mencurigai dan akan menangkap siapa saja yang bersalah. Petugas bimbingan dan konseling adalah kawan pengiring penunjuk jalan, pembangun kekuatan, dan Pembina tingkah laku-tingkah laku positif yang dikehendaki. Petugas bimbingan dan konseling hendaknya bisa menjadi sitawar-sidingin bagi siapa pun yang dating kepadanya. Dengan pandangan, sikap, keterampilan, dan penampilan konselor siswa atau siapa pun yang berhubungan dengan konselor akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.



3. Bimbingan dan Konseling Dianggap Semata-mata sebagai Proses Pemberian Nasihat
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanya merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Di samping memerlukan pemberian nasihat, pada umumnya klien sesuai dengan masalah yang dialaminya, memerlukan pula pelayanan lain, seperti pemberikan informasi, penempatan dan penyaluran, konseling, bimbingan belajar, pengalihtanganan kepada petugas yang lebih ahli dan berwenang, layanan kepada orang tua siswa dan masyarakat, dan lain sebagainya.

4. Bimbingan dan Konseling Dibatasi pada Hanya Menangani Masalah yang Bersifat Insidental
Memang, sering kali pelayanan bimbingan dan konseling bertitik tolak dari masalah yang dirasakan klien sekarang, yang sifatnya diadakan. Namun pada hakikatnya pelayanan itu sendiri menjangkau dimensi waktu yang lebih luas, yaitu yang lalu, sekarang, dan yang akan datang. Di samping itu konselor tidaklah seyogianya menunggu saja klien dating dan mengemukakan masalahnya.
Untuk keperluan tersebut, petugas bimbingan dan konseling harus terus memasyarakatkan dan membangun suasana bimbingan dan konseling, serta mampu melihat hal-hal tertentu yang perlu diolah, ditanggulangi, diarahkan, dibangkitkan, dan secara umum diperhatikan demi perkembangan segenap individu (misalnya siswa di sekolah) yang menjadi tanggung jawabnya secara penuh dan menyeluruh.


5. Bimbingan dan Konseling Dibatasi Hanya untuk Klien-klien Tertentu Saja
Pelayanan bimbingan dan konseling bukan tersedia dan tertuju hanya untuk klien-klien tertentu saja, tetapi terbuka untuk segenap individu ataupun kelompok yang memerlukannya. Petugas bimbingan dan konseling membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi siapa saja siswa yang ingin mendapatkan atau memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling.

6. Bimbingan dan Konseling Melayani “Orang Sakit” dan/atau “Kurang Normal”
Bimbingan dan konseling hanya melayani orang-orang normal yang mengalami masalah tertentu. Bukankah jika segenap fungsi yang ada pada diri seseorang yang normal dapat berjalan dengan baik, niscaya orang tersebut akan dapat menjalani kehidupannya secara normal pula? Kehidupan yang normal ini pasti menuju kebaikan dan kewajaran. Sayangnya, bekerjanya fungsi-fungsi yang sebenarnya normal itu kadang-kadang terganggu atau arahnya tidak tepat sehingga memerlukan bantuan konselor demi lebih lancar dan lebih terarahnya kegiatan fungsi-fungsi tersebut.

7. Bimbingan dan Konseling Bekerja Sendiri
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang bekerja sendiri sarat dengan unsur-unsur budaya, sosial dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien.



8. Konselor Harus Aktif, Sedangkan Pihak Lain Pasif
Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien, harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.

9. Menganggap Pekerjaan Bimbingan dan Konseling Dapat Dilakukan oleh Siapa Saja
Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa “benar” dan bisa pula “tidak”. “Benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. “Tidak” jika bimbingan dan konseling dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan (yaitu mengikuti filosofi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara professional.

10. Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berpusat pada Keluhan Pertama Saja
Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan melihat gejala-gejala dan/atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien. Usaha pelayanan seharusnyalah dipusatkan pada masalah yang sebenarnya itu. Konselor harus mampu menyelami sedalam-dalamnya masalah klien yang sebenarnya.

11. Menyamakan Pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan Pekerjaan Dokter atau Psikiater
Memang dalam hal-hal tertentu terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter, atau psikiater, yaitu sama-sama menginginkan klien atau pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya. Namun demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Baik dokter ataupun psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang sehat yang sedang mengalami masalah.

12. Menganggap Hasil Pekerjaan Bimbingan dan Konseling Harus Segera Dilihat
Usaha yang menyangkut aspek-aspek mental/psikologis dan tingkah laku tidaklah dapat didesak-desakkan atau dicepat-cepatkan sehingga lekas masak. Pendekatan ingin mencapai hasil segera mungkin justru dapat melemahkan usaha itu sendiri. Berlangsungnya usaha bimbingan dan konseling itu hendaklah serius dan penuh dinamika, namun wajar dan penuh pertimbangan. Petugas bimbingan dan konseling haruslah berusaha dengan sepenuhnya kemampuan menghadapi masalah klien. Pihak-pihak lain pun diminta memberikan kerjasama penuh dan tidak hanya sekadar mengharap (atau menuntut) agar bimbingan dan konseling dapat dengan cepat mengubah tingkah laku dan memecahkan masalah klien.

13. Menyamaratakan Cara Pemecahan Masalah bagi Semua Klien
Sering kali terjadi untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Pada dasarnya, pemakaian sesuatu cara tergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan konseling dan sarana yang tersedia.

14. Memusatkan Usaha Bimbingan dan Konseling Hanya pada Penggunaan Instrumentasi Bimbingan dan Konseling (Misalnya Tes, Inventori, Angket, dan Alat Pengungkap Lainnya)
Konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrument seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apalagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali. Petugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan.

15. Bimbingan dan Konseling Dibatasi pada Hanya Menangani Masalah-masalah yang Ringan Saja
Tanpa menyebut bahwa masalah yang dihadapi itu berat atau ringan, tugas bimbingan dan konseling ialah menanganinya dengan cermat dan tuntas.
Kadar penanganan (entah itu berat atau ringan) semata-mata disesuaikan dengan pribadi klien, jenis masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan konselor, sarana yang tersedia, dan kerjasama dengan pihak-pihak lain.



BAB IV
LANDASAN BIMBINGAN DAN KONSELING

A. Landasan Filosofis
Kata filosofi atau filsafat berasal dari bahasa Yunani: philos berarti cinta, dan shopos berarti bijaksana. Jadi filosofis berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan. Lebih luas, kamus Webster New Universal memberikan pengertian bahwa filsafat merupakan ilmu yang mempelajari kekuatan yang didasari proses berfikir dan bertingkah laku, teori tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum dasar yang mengatur alam semesta serta mendasai semua pengetahuan dan kenyataan, termasuk ke dalamnya studi tentang estetika, etika, logika, metafisika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, filsafat merupakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, setinggi-tingginya, selengkap-lengkapnya, serta setuntas-tuntasnya tentang sesuatu. Tidak ada lagi pemikiran yang lebih dalam, lebih luas, lebih tinggi, lebih lengkap ataupun lebih tuntas daripada pemikiran filosofis.
Pelayanan bimbingan dan konseling meliputi serangkaian kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan merupakan tindakan yang bijaksana. Untuk itu diperlukan pemikiran filosofis tentang berbagai hal yang bersangkut paut dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada khusunya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dan dalam membuat keputusan yang tepat. Di samping itu pemikiran dan pemahaman filosofis juga memungkinkan konselor menjadikan hidupnya sendiri lebih mantap, lebih fasilitatif, serta lebih efektif dalam penerapan upaya pemberian bantuannya (Belkin, 1975).



1. Hakikat Manusia
Menurut teori evolusinya yang berdasarkan perkembangan biologis, Charles Darwin, seorang ilmuwan bangsa Inggris, memberikan pada pemikiran dan pemahaman manusia adalah hasil evolusi binatang yang lebih rendah. Semua cikal bakal manusia tidak seperti keadaannya sekarang, melainkan lebih menyerupai kera. Nenek moyang manusia yang seperti kera itu terus berevolusi; mengalami perubahan secara perlahan-lahan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan selama berjuta-juta tahun, dan akhirnya terwujudlah manusia dalam bentuknya sekarang.
Pertama, dapat diketahui bahwa pola pemikiran Charles Darwin tersebut baru membahas segi tertentu dari keberadaan manusia yang amat penting, yaitu segi perkembangan biologis. Segi biologis manusia memang amat penting, sangat banyak seluk beluknya, dan memerlukan pemikiran serta pemahaman yang mendalam, tetapi memandang manusia dari segi perkembangan biologisnya saja tentulah belum lengkap. Keberadaan manusia bersifat multi dimensionall selain manusia memiliki dimensi kejasmanian (biologis), juga dimensi simbolis dan dimensi sejarah (M. Sastrapratedja, 1982).
Kedua, pemikiran Charles Darwin juga belum dapat memberikan gambaran tentang manusia masa depan, misalnya manusia satu-dua juta tahun yang akan datang. Pola pemikiran yang demikian itu jelaslah belum secara tuntas memberikan pembahasan tentang manusia utuh yang lengkap dan yang dapat memberikan pemahaman tentang manusia utuh yang menyeluruh untuk sepanjang zaman.
Berbeda dari pola pemikiran Charles Darwin tentang evolusi perkembangan manusia, tokoh-tokoh abad ke-19 seperti Mill, Hegel, Wundt, dan James meninjau keberadaan manusia dari segi psikologi. Oleh Robinson (1982) sumbangan pemikiran tokoh-tokoh tersebut dianggap sebagai langkah yang secara ilmiah menuju ke pemahaman tentang hakikat manusia. Para tokoh tersebut mengupas dari sudut pandang psikologis, perikehidupan manusia yang meliputi pola berpikir, persepsi, kesadaran, kepribadian, moral, kemauan, kepercayaan, dan sebagainya. Mereka sepertinya telah menyusun sistem psikologi tertentu yang amat besar pengaruhnya, bahkan mendasari perkembangan psikologis dewasa ini.
Para penulis Barat telah banyak yang mencoba untuk memberikan deskripsi tentang hakikat manusia (antara lain dalam Patterson, 1966; Alblaster & Lukes, 1971; Thompson & Rudolph, 1983). Beberapa di antara deskripsi tersebut mengemukakan:
– Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berpikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
– Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, khususnya apabila ia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
– Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri, khususnya melalui pendidikan.
– Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk; dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
Viktor Frankl (dalam Thompson & Rudolph, 1983) menegaskan bahwa:
selain memiliki dimensi fisik dan psikologis, manusia juga memiliki dimensi spiritual. Ketiga dimensi itu harus dikaji secara mendalam apabila manusia itu hendak dipahami dengan sebaik-baiknya. Melalui dimensi spiritualnya itulah manusia mampu mencapai hal-hal yang berada di luar dirinya dan mewujudkan ide-idenya.
manusia terutama akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupan tersebut.
manusia adalah unik, dalam arti bahwa manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri  manusia adalah bebas merdeka, dalam berbagai keterbatasannya, untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu dan akan menjadi apa manusia itu sendiri.
Virginia Satir (dalam Thompson & Rudolph, 1983) memandang bahwa manusia pada hakikatnya positif. Setelah mempelajari ribuan keluarga secara mendalam, Satir berkesimpulan bahwa pada setiap saat, dalam suasana apapun juga, manusia berada dalam keadaan yang terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Deskripsi di atas telah memberikan gambaran secara mendasar tentang manusia. Gambaran itu akan lebih lengkap dengan ditambahkannya hal-hal berikut:
a. Manusia adalah makhluk. Dari tinjauan agama, pengertian makhluk ini memberikan pemahaman bahwa ia terikat pada Khaliknya, Penciptanya, yaitu keterikatan sebagaimana menjadi dasar penciptaan manusia itu sendiri. Untuk apa manusia itu diciptakan? Yaitu untuk mengabdi bagi terwujudnya firman-firman Sang Pencipta itu demi kebahagiaan manusia itu sendiri, di dunia dan di akhirat.
b. Manusia adalah makhluk yang tertinggi dan termulia derajatnya dan paling indah di antara segenap makhluk ciptaan Sang Pencipta. Lagi-lagi dari tinjauan agama, makhluk yang tertinggi dan termulia derajatnya itu bahkan dijadikan pemimpin bagi makhluk-makhluk lainnya di atas bumi.
c. Keberadaan manusia dilengkapi dengan empat dimensi kemanusiaan, yaitu dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan. Keempat dimensi tersebut diperkembangkan secara menyeluruh, terpadu, selaras, dan seimbang demi terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang seutuhnya.

2. Tujuan dan Tugas Kehidupan
Adler (1954) mengemukakan bahwa tujuan akhir dari kehidupan psikis adalah “menjamin” terus berlangsungnya eksistensi kehidupan kemanusiaan di atas bumi, dan memungkinkan terselesaikannya dengan amak perkembangan manusia. Sedangkan Jung (1958) melihat bahwa kehidupan psikis manusia mencari keterpaduan, dan di dalamnya terdapat dorongan instiaktual ke arah keutuhan dan hidup sehat (dalam Witner & Sweeney, 1992). Lebih jauh, sebagai kesimpulan dari hasil studinya tentang ciri-ciri manusia yang hidupnya sehat, Maslow (dalam Witner & Sweeney, 1992) menegaskan bahwa daya upaya yang keras untuk terciptanya hidup yang sehat merupakan kecenderungan yang bersifat universal dalam kehidupan manusia. Dalam kaitan itu semua, Witner & Sweeney (1992) mengajukan suatu model tentang kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta upaya mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat. Kedua pemikir tersebut mengemukakan ciri-ciri hidup sehat sepanjang hayat dalam lima kategori tugas kehidupan, yaitu berkenaan dengan spiritualitas, pengaturan diri, pekerjaan, persahabatan, dan cinta.
Tugas Kehidupan 1: Spiritualitas
Dalam kategori ini terdapat agama sebagai sumber inti bagi hidup sehat. Agama sebagai sumber moral, etika dan aturan-aturan formal berfungsi untuk melindungi dan melestarikan kebenaran dan kesucian hidup manusia. Karakter dan gaya hidup perorangan dikembangkan dengan memperhatikan keharmonisan dengan Sang Maha Kuasa.
Dimensi lain dari aspek spiritual adalah kemampuan manusia memberikan arti kepada kehidupannya, optimisme terhadap kejadian-kejadian yang akan datang, dan diterapkannyaa nilai-nilai dalam hubungan antarorang serta dalam pembuatan keputusan. Ketiga dimensi spiritualitas itu menjadi pendorong dan sekaligus memberikan kekuatan bagi pencapaian hidup yang sehat, bahagia, dan sejahtera.
Tugas Kehidupan 2: Pengaturan Diri
Seseorang yang mengamalkan hidup sehat pada dirinya terdapat sejumlah ciri, termasuk rasa diri berguna; pengendalian diri; pandangan realistik; spontanitas dan kepekaan emosional; kemampuan rekayasa intelektual; pemecahan masalah; dan kreativitas; kemampuan berhumor; kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat.
Tugas Kehidupan 3: Bekerja
Dalam bekerja, seseorang akan memperoleh keuntungan ekonomi (termasuk sumber keuangan untuk membelanjai hidup sehari-hari, untuk mengejar sukses yang lebih tinggi, dan untuk modal bagi pemanfaatan penggunaan waktu senggang, rekreasi, dan pemeliharaan kesehatan); keuntungan psikologis (menimbulkan rasa percaya diri, pengendalian dan perwujudan diri, merasa berguna); dan keuntungan sosial (merupakan tempat bertemu dengan orang lain, memiliki status, dan persahabatan); yang kesemuanya itu akan menunjang kehidupan yang sehat bagi diri sendiri dan orang lain.
Tugas Kehidupan 4: Persahabatan
Persahabatan merupakan hubungn sosial, baik antarindividu maupun dalam masyarakat secara lebih luas, yang tidak melibatkan unsur-unsur perkawinan dan keterikatan ekonomis. Hubungan sosial ini didasarkan pada apa yang disebut Adler (1954) sebagai “social interest” atau “social feeling” dari hasil risetnya.
Tugas kehidupan 5 : Cinta
Dengan cinta hubungan seseorang dengan orang lain cenderung menjadi amat intim, saling mempercayai, saling terbuka, saling berkerjasama, dan saling memberikan komitmen yang kuat. Penelitian Flanagan (1978) mengungkapkan bahwa pasangan hidup (suami istri), anak dan teman-teman merupakan tiga pilar paling utama bagi keseleruuhan penciptaan kebahagiaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan.Perkawinan dan persahabatan secara signifikan menyumbang pada kebahagiaan hidup.
B. Landasan Religius
Landasan religius bagi layanan bimbingan konseling perlu ditekankan menjadi 3 hal pokok, yaitu :
a. Keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk Tuhan.
b. Sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan ke arah sesuai dengan kaidah-kaidah agama, dan
c. Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahana masalah individu.

1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan menekankan pada ketinggian derajat dan keindahan makhluk Tuhan itu serta perannanya sebagai khalifah di muka bumi. Derajat dan keberadaan yang paling mulia di antara makhluk-makhluk Tuhan itu perlu di muliakan oleh manusia itu sendiri.
2. Sikap Keberagamaan
Kehidupan beragaman merupakan gejala yang universal. Mka “Keberagamaan” itu sangat beraneka ragam (tentang dari paham-paham animesme, politeisme, sampai monoteisme) dan dalam banyak seginya diwarnai oleh dan bahkan ada yang terpadu menjadi satu dengan unsur-unsur kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia itu sendiri.
Didunia barat, agama tidak dipilah dan dipisahkan secara tegas dari filsafat. Padahal inti dari ajaran agama adalah Firman-Firman Tuhan dan Filsafat adalah hasil pikiran manusia. Lebih jauh, agama dan filsafat yang dapar membentuk sikap seseorang itu dikontraskan dengan dorongan individu, untuk lebih bebas dan lebih berotonomi (Schertzer & stone 1968).
3. Peranan Agama
Pada tahun 1965 Dr. John G.Fink mendirikan lembaga pendidikan pasca sarjana psikologi yang kurikulumnya meliputi teori dan praktek mengenai hubungan antara agama dan psikologi (dalam Clark, Malony, Daane, & Tippet, 1973). Kajian tentang hubungan agama dan psikologi ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki kemampuann itu sering kali tidak dimanfaatkan.
Dinegara-negara barat, urusan agama pada umumnya dianggap sebagi urusan perseorangan, artinya bukan urusan negara. Negara tidak bertanggung jawab dan tidak pula mengatur perkembangan ataupun keadaan kehidupan beragama masyarakat. Dengan demikian maju mundurnya kehidupan beragama tergantung sepenuhnya pada sikap dan upaya anggota masyarakat sendiri terhadap keberagamaan mereka.
Di Indonesia keadaan kehidupan beragama sangat berbeda. Pemerintah dan masyarakat sama-sama bertanggung jawab dan sangat memperhatikan perkembangan dan keberadaan kehidupan beragama.
Dalam kehidupan keberagamaan yang kental dan dinamis itu, peranan agama dalam upaya pemuliaan kemanusiaan manusia mendapatkan tempat yang amat penting dan strategis.
Apabila di Amerika Serikat kepada konselor di pesankan benar agar tidak memasukkan unsur-unsur agama dalam konseling-pesan ini pernah ditekankan kepada slah seorang penulis sewaktu belajar tentang bimbingan dan konseling disana-, maka di Indonesia pesan itu harus dibuang jauh-jauh. Unsur-unsur agama tidak boleh diabaikan dalam konseling, dan justru harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya mencapai kkesuksesan upaya bimbingan dan konseling, yaitu kebahagiaan klien.
Memanfaatkan unsur-unsur agama dalam konseling memang daat membawa suasana konseling menjadi tidak mengenakkan klien dan upaya konesling menjadi tidak efektif- hal ini memang menjadi alasan utama yang melatarbelakangi pesan dari Amerika tersebut tadi. Hal serupa akan terjadi apabila konselor justru ingin menonjolkan warna agama dan menjadikan unsur agama tujuan yang hendak dicapai dalam konseling. Untuk tetap memberikan peran positif agama dalam konseling sambil menghindari hal-hal yang tidak diingikan itu, pertama-tama konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik, keimanan dan ketaqwaan sesuai dengan agamanya itu. Kedua, konselor sedapat-dapatnya mampu mentranfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan permasalahan klien. Ketiga, konselor harus benar-benar memperhatikan dan menghormati agama klien.
C. Landasan Psikologis
Psikologi merupakan kajian tentang tingkah laku individu. Landasan psikologis dalam bimbingan dan konseling berarti memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menjadi sasaran layanan (klien).Untuk keperluan bimbingan dan konseling sejumlah daerah kajian dalam bidang psikologi perlu dikuasai, yaitu tentang
1. Motif dan motivasi
2. Pembawaan dasar dan lingkungan
3. Perkembangan individu
4. Belajar, balikan dan penguatan
5. Kepribadian

1. Motif dan Motivasi
Motif adlah dorongan yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini hidup pada diri seseorang dan setiap kali mengusik serta menggerakkan orang itu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang terkandung di dalam dorongan itu sendiri.
Para ahli umumnya sepakat akan adanya dua golongan motif, yaitu motif yang bersifat primer dan yang bersifat sekunder. Motif primer didasari oleh kebutuhan asli yang sejak semulla telah ada pada diri setiap individu sejak ia terlahir ke dunia, seperti kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar dan haus serta kebutuhan akan udara bersih. Kebutuhan-kebutuhan tersebut secara mendasar harus terpenuhi , sebab kalau tidak, tantangannya adalah maut. Motif primer itu ada pada setiap orang atau sering kali pemenuhannya tidak dapt ditunda- tunda.
Berkenaan dengan kaitannya antara motif dan objek tingkah laku, dikenal adanya motif yang bersifat intinsik dan ekstrinsik. Motif intrinsik dapat ditemui apabila isi atau tema pokok tikah laku bersesuai dengan atau berada di dalam isi atau tema pokok objek tingkah laku itu. Sedangkan motif ekstrinsik dapat dijumpai apabila isi atau tema pokok tingkah laku tidak bersesuaian atau berada di luar isi atau tema pokok tingkah laku tidak bersesuain atau berada di luar isi atau tema pokok objeknya. Dlam motif ekstrinsik, objek tingkah laku seolah-olah hanya menjadi sekadar jembatan atau perantara bagi terjangkaunya isi atau tema pokok yang lain di luar isi atau tema pokok objek langsung tingkah laku tersebut.
2. Pembawaan dan Lingkungan
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa kondisi mental fisik tertentu. Apa yang dibawa sejak lahir itu sering disebut pembawaan. Dalam arti yang luas pembawaan meliputi berbagai hal, seperti warna kulit, bentuk dan warna rambut, golongan darah, kecenderungan pertumbuhan fisik, minta, bakat khusus, kecerdasan, kecenderungan ciri-ciri keprid=badian tertentu. Kerentanan terhadap penyakit tertentu sering kali juga dikaitkan dengan pembawaan. Pembawaan itu diturunkan melalui pembawa sifat yang terbentuk segera setelah sel telur dari ibu bersatu dengan sel sperma ayanh pada saat konsepsi.
Kadang-kadang masih terdengan juga perdebatan tentang peranan pembawaan dan lingkungan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu. Mana yang lebih dominan perananya, pembawaan atau lingkungan ? Penelitian dalam bidang psikologi pada dasarnya menunjukkan bahwa diantara kedua fakta itu (pembawaan dan lingnkungan) yang satu tidak mendominasi yang lain (Sutton-Smith 1973).
Pembawaan dan lingkungan masing-masing individu tidaklah sama. Ada pembawaan yan tinggi, sedang, kurang, dan bahkan kurang sekali. Kadang-kadang kita jumpai in dividu dengan intelejensi yang amat tinggi (genius).
Demikian juga lingkungan. Ada individu yang lingkungannya sangat baik, ada yang sedang-sedang saja, dan ada pula yang lingkungannya berkekurangan. Keadaan yang idela adalah apabila seseorang memiliki sekaligus pembawaan dan lingkungan yang bagus. Keadaan yang kurang menguntungkan ialah apabila salah satu dan dua faktor pembawaan dan lingkungannya kurang menunjang, dan sebaliknya, lingkungan memuaskan tetapi pembawaannya rendah. Tetapi keadaan yang seperti itu masih lebih baik dibandingkan kalau kedua faktor lemha, pembawaan tidak dapat diharapkan dan lingkungannya pun mengecewakan.
3. Perkembangan Individu
Perkembangan individu itu tidak sekali jadi, melainkan bertahap berkesinambungan. Masing-masing aspek perkembangan, seperti perkembangan kognitif/kecerdasan, bahasa, moral, hubungan sosial, fisik, dan kemampuan motorik memiliki tahap-tahap perkembangannya sendiri. Disamping itu, hukum-hukum perkembangan berlaku bagi perkembangan segenap aspek itu secara menyeluruh, termasuk di dalamnya peranan faktor-faktor pembawaan lingkungan.
Menurut Havigurts, definisi tentang tugas perkembangan adalah “suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam kehidupan seseorang, yang kesuksessan penyelesaiannnya akan mengantarkan orang tersebut ke keadaan bahagia, dan kegagalan penyelesaiannya akan menyebabkan orang tesebut ke keadaan tidak bahagia, tidak diterima oleh masyarakat, dan mengalami kesulitan dalam menjalani tugas-tugas berikutnya”(dalam Shertzer & Stone, 1968).
Tugas-tugas perkembangan tersebut di bentuk oleh unsur-unsur biologis, psikologis, dan kultural yang ada pada diri dan lingkungan individu. Selengkapnya tuugas-tugas perkembangn manusia, sejak lahir sampai dewasa adalah :
Tugas perkembangan Masa Bayi dan Kanak-Kanak (0-5 tahun)
a. Belajar berjalan
b. Belajar memekan makanan padat
c. Belajar berbicara
d. Belajar mengontrol pembuangan kotoran dari diri sendiri (buang air kecil dan air besar)
e. Belajar membedakan jenis kelamin
f. Mencapai kematangan fisik
g. Membentuk konsep-konsep sederhanan mengenai realitas sosial fisik.
h. Belajar berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung, dan orang lain
i. Belajar memahami yang baik dan buruk
Tugas Perkembangan Anak-anak (6-11 tahun)
a. Mempelajari penampilan fisik yang perlu untuk berbagai permainan sederhana.
b. Membina sikap hidup sehat, untuk diri sendiri dan lingkungan.
c. Belajar bergaul dengan teman sebaya.
d. Belajar menjalankan peranan sosial yang tepat sesuai dengan jenis kelaminnya.
e. Belajar keterampilan dasar, membaca, menulis dan berhitung.
f. Mengembangkan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.













BAB VII
JENIS LAYANAN DAN KEGIATAN BIMBINGAN DAN KONSELING
A. Layanan Orientasi
Layanan orientasi adalah layanan bimbingan yang dilakukan untuk memperkenalkan siswa baru dan atau seseorang terhadap lingkungannya yang baru dimasukinya. Pemberian layanan ini bertolak dari anggapan bahwa memasuki lingkungan baru bukanlah hal yang selalu dapat berlangsung dengan mudah dan menyenangkan bagi setiap orang.
1. Layanan Orientasi di Sekolah
Individu yang memasuki lingkungan baru perlu segera dan secepat mungkin memahami lingkungan barunya itu. Hal-hal yang perlu diketahui itu pada garis besarnya adalah keadaan lingkungan fisik (seperti gedung-gedung, peralatan, kemudahan-kemudahan fisik), materi dan kondisi kegiatan (seperti jenis kegiatan, lamanya kegiatan berlangsung syarat-syarat bekerja, suasana kerja), peraturan dan berbagai ketentuan lainnya (seperti disiplin, hak dan kewajiban), jenis personal yang ada, tugas masing-masing dan saling berhubungan diantara mereka. Untuk ingkungan sekolah misalnya, materi orientasi yang mendapat penekanan adalah :
a. Sistem penyelenggaraan pendidikan pada umumnya.
b. Kurikulum yang ada
c. Penyelenggaraan pengajaran.
d. Kegiatan belajar siswa yang diharapkan.
e. Sistem penilaian, ujian dan kenaikan kelas.
f. Fasilitas dan sumber belajar yang ada (seperti ruang kelas, laboratorium, perpustakaan dan ruang praktek);
g. Fasilitas penunjang ( sarana olahraga dan rekreasi, pelayanan kesehatan, pelayan bimbingan dan konseling, kafetaria, dan tata usaha);
h. Staf pengajar dan tata usaha.
i. Orgnisasi siswa.
j. Organisasi orang tua siswa.
k. Organisasi sekolah secara menyeluruh.
2. Metode Layanan Orientasi Sekolah
Untuk anak-anak yang segera akan memasuki SLTP, Allen & McKean menyarankan beberapa kegiatan:
a. Kunjungan Ke SD Pemasok
Petugas SLTP (misalnya konselor sekolah bersama guru-guru lain yang ditugaskan) mengunjugi SD-SD yang para lulusannya akan memasuki SLTP tersebut. Di sana, para petugas itu menjelaskan berbagai ihwal SLTP itu kepada murid-murid SD kelas tinggi yang diharapkan akan memasuki SLTP yang dimaksudkan. Alangkah baiknya kalau penjelasan itu dilengkapi dengan penyajian gambar, film, poster, dan lain-lain dan sebgainya. Tanya jawab dengan murid-murid SD itu juga dibuka dengan seluas-luasnya.
b. Kunjungan ke SLTP pemesan
Murid-murid SD kelas tinggi mengunjungi SLTP yang akan mereka masuk. Di sana mereka melihat lingkuan dan kelengkapan sekolah, menerima penjalasa n lengkap dengan gambar, film, poster dan tanya jawab.
c. “Malam” pertemuan dengan orang tua
Orang tua murid baru diundang menghadiri suatu pertemuan ( boleh siang atau malam) untuk beramah-tamah dengan staf sekolah dan menerima penjelasan tentang hal-ikhwal sekolah tempat anak-anak mereka belajar.
d. Staf konselor bertemu dengan guru membicarakan siswa-siswa baru.
Dengan guru-guru ( dan kepala sekolah) konselor membicarakan materi orientasi dan cara-cara penyampaiannya kepada siswa. Guru-guru (dengan dikoordinasikan oleh konselor sekolah) melaksanakan kegiatan orientasi itu.
e. Mengunjungi kelas
Konselor berkeliling mengunjungi kelas-kelas murid baru. Konselor menjelaskan dengan berbagai alat bantu dan prosedur tanya jawab tentang berbagai materi tersebut di atas.
f. Memanfaatkan siswa-senior
Setiap siswa baru diberi kawan pendamping senior (yaitu siswa yang kelasnya lebih tinggi ) untuk memberikan penjelasan dan membantu siswa baru itu dalam segala hal berkenaan dengan keadaan sekolah dan bagaimana berlaku sebagai siswa yang baik (dalam arti aktif, bersemangat, dan berhasil) di sekolah itu.
3. Layanan Orientasi di Luar Sekolah
Cara penyajian orientasi di luar sekolah sangat tergantung pada jenis orientasi yang diperlukan dan siapa yang memerlukannya. Lembaga-lembaga seperti “ Badan Penasihat Perkawinan”, “Pusat Rehabilitasi Narapidana”, “Pusat Orientasi Tenaga Kerja”, dan lain-lain dapat dibentuk dan konselor menjadi tenaga ahli serta penggerak lembaga bantuan khusus di masyarakat itu.
B. Layanan Informasi
Secara umum, bersama dengan layanan orientasi bermaksud memberikan pemahaman kepada individu-individu yang berkepentingan tentang berbagai hal yang diperlukan untuk menjalani suatu tugas atau kegiatan, atau untuk menentukan arah suatu tujuan atau rencana yang dikehandaki. Dengan demikian, layanan orientasi dan informasi itu pertama-tama merupakan perwujutan dari fungsi pemahaman pelayanan bimbingan dan konseling.
Ada tiga alasan utama mengapa pemberian informasi perlu diselenggarakan. Pertama, membekali individu dengan berbagai pengetahuan tentang lingkungan yang diperlukan memecah masalah yang dihadapi berkenaan dengan lingkungan sekitar, pendidikan, jabatan, maupun sosial budaya. Kedua, memungkinkan individu dapat menentukan arah hidupnya ke arah” kemana dia ingin pergi”. Syarat dasar untuk dapat menentukan arah hidup adalah apabila ia ingin mengetahui apa (informasi)yang harus dilakukan serta bagaimana bertindak secara kreatif dan dinamis berdasarkan informasi yang ada itu. Ketiga, setiap individu adalah unik. Keunikan itu akan membawakan pola-pola pengambilan keputusan dan bertindak yang berbeda-beda disesuaikan dengan aspek-aspek kepribadian masing-masing individu.
1. Jenis-jenis Informasi
Tiga jenis informasi, yaitu (a) informasi pendidikan, (b) informasi jabatan, dan (c ) informasi sosial – budaya.
a. Inforamsi Pendidikan
Dalam bidang pendidikan banyak individu yang berstatus siswa atau calon siswa yang dihadapakan pada kemungkinan timbulnya masalah atau kesulitan. Di anatara masalah atau kesulitan tersebutberhubungan dengan (a) pemilihan program studi, (b) pemilihan sekolah, fakultas dan jurusannya, (c) penyesuaian diri dengan program studi, (d) penyesuain diri terhadap suasana belajar, dan (e) putus sekolah. Mereka membutuhkan adanya keterangan atau informasi untuk dapat membuat pilihan dan keputusan secara bijaksana.
Norris, Hatch, Engelkes & Winborn (1977) menekankan bahwa informasi pendidikan meliputi data dan keterangan yang sahih dan berguna tentang kesempatan dan syarat-syarat berkenaan dengan berbagai jenis pendidikan yang ada sekarang dan yang akan datang. Materi kurikuler dan kurikuler yang disajikan, syarat-syarat untuk memasuki pendidikan latihan, kondisa dan kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, semuanya merupakan butir-butir pokok informasi yang amat penting. Selanjutnya Norris, dkk., mengemukakan bahwa informasi pendidikan dan latihan seperti itu perlu disebarluaskan kepada individu anggota masyarakat nutuk semua umur, khususnya bagi yang masih menduduki bangku pendidkan formal. Mereka perlu mengedintifikasi tingkat-tingkat informasi pendidikan, khususnya dikaitkan dengan keperluan mereka yang baru saja memsuki sekolah untuk pertama kali, memasuki SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi. Jenis-jenis informasi pada setiap tingkat itu adalah sebagai berikut:
Pertama kali masuk sekolah:
1) jam-jam pelajar,
2) disiplin dan peraturan sekolah lainnya,
3) kegiatan belajar dan kegiatan anak lainnya di sekolah,
4) buku-buku /alat pelajaran,
5) fasilitas, makanan, kesehatan, tempat bermain,
6) fasilitas transportasi (khususnya bagi mereka yang rumanya jauh dari sekolah ),
7) peraturan tentang kunjungan orang tua ke sekolah.
Memasuki SLTP :
1) Jadwal kegiatan sekolah,
2) mata pelajaran yang ada (berikut nama-nama gurunya),
3) kegiatan ko-kurikuler’
4) fasilitas sumber belajar (seperti perpusatakaan, laboratorium, bengkel kerja)
5) sarana penunjang (seperti pelayanan kesehatan , bimbingan dan konseling).
6) Peraturan sekolah, serta hak dan kewajiban siswa dan orang tua,
7) Keadaan fisik sekolah (gedung-gedung, pekarangan sekolah, alamat)
8) Prosedur penerimaan.
Memasuki SLTA :
1) Mata pelajaran dan pembidangnya, seperti mata pelajaran umum, persiapan ke perguruan tinggi, keterampilan.
2) Jurusan atau program –program yang dsediakan,
3) Hubungan antara satu jurusan atau program dengan pekerjaan atau kegiatan di masyarakat yang lebih luas.
4) Tersedianya latihan-latihan khusus seperti mengetik, komputer, perbengkelan dan lain-lain.
5) Jadwal kegiatan belajar dan latihan.
Memasuki perguruan tinggi
Secara garis besar informasi pendidikan yang diperlukan para (calon) lulusan SLTA adalah
1. Lembaga pendidikan yang menyajikan program-program yang lebih spesifik (dengan berbagai butir pokok informasi sebagaimana disebutkan terdahulu)
2. Beasiswa dan berbagai kemungkinan tunjangan yang dapat diperoleh beserta syarat-syarat dan cara-cara melamarnya (mengajukan permohonan)
3. Program-program latihan khusus,misalnya di perusahaan-perusahaan industri

b. Informasi Jabatan
Informasi jabatan/pekerjaan yang baik sekurang-kuranganya memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Struktur dan kelompok-kelompok jabatan/pekerjaan utama.
2. Uraian tugas masing-masing jabatan/pekerjaan.
3. Kualifikasi tenaga yang diperlukan untuk masing-masing jabatan.
Tingkat SD
Tingkat ini merupak tingkatan yang paling awal dan mendasar. Pemberian untuk anak-anak SD pada umumnya dimaksud untuk :
1. Mengembangkan sikap terhadap segala jenis pekerjaan. Guru/konselor sekolah benar-benar berhati-hati. Jangan sampai melalui kata atau tidakan.
2. Membawa anak-anak untuk menyadari betapa luasnya dunia kerja yang ada tergantung dari pekerjaan yang dijabat orang tua anak-anak itu sampai ke segala macam pekerjaan di msayarakat luas.s
3. Menjawab berbagi perannyaan anak-anak tentang pekerjaan. Doronagn ingin tahu anak-anak akan membawa mereka menayakan segala sesuatu tentang pekerjaan.
Tingkat SLTP
Informasi jabatan/pekerjaan di SLTP menyajikan bahwa informasi dengan tujuan agar para siswa mampu merencanakan secara umum masa depannya dan tidak merencanakan pekerjaan tertentu secara khusus. Pada tingkat ini diharapkan para siswa mulai :
1. Mempelajari bidang pekerjaan secara lebih luas seperti bidang perdagangan, permesinan, administrasi, perkantoran dan lain lain.
2. Melihat hubungan antara bidang-bidang pekerjaan itu dengan mata-mata pelajaran yang ada di sekolah.
3. Lebih mendalami informasi tentang pekerjaan tertentu.
4. Memahami cara-cara memperolah informasi yang cepat dan mutakhir dengan jumlah yang cukup tentang dunia kerja.
5. Memahami pentingnya dan ruang lingkup perencanaan pekerjaan/karier.
Tingkat SLTA
Informasi jabatan pada tingkat ini agaknya mengandung makna yang baru bagi siswa SLTA mengingat mereka adalah lebih mendekati lagi masa penetapan pilihan pekerjaan.Lebih jauh, informasi pekerjaan SLTA hendaklah meliputi, cakupan yang memungkinkan siswa :
1. Mempergunakan berbagai cara untuk meperdalam dan memperluas pemahaman tentang dunia kerja pada umumnya dan bidang pekerjaan tertentu pada khususnya.
2. Mengembangkan rencana sementara pekerjaan yang akan menadi pegangan setamat SLTA.
Pasca SLTA
Selepas SLTA para remaja/pemuda pada umumnya memasuki dunia kerja atau melanjutkan pelajaran ke perguruan tinggi. Mereka memerlukan informasi tentang pekerjaan-pekerjaan baru dengan berbagai kondisi dan syarat-syaratnya.
c. Informasi Sosial-Budaya
Untuk memungkinkan setiap warga negara Indonesia dapat hidup seperti yang dimaksud di ats, sejak dini mereka perlu dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman isi informasi tentang keadaan sosial-budaya bergai daerah.

2. Metode Layanan Informasi di Sekolah
Pemberian informasi kepada siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti metode cramah, diskusi panel, wawancara, karyawisata, alat-alat peraga dan alat bantu lainnya, buku anduan, kegiatan sanggar karier, sosiodarma.

3. Layanan Informasi di Luar Sekolah
Sebagaimana layanan orientasi,layanan informasi juga banyak diperlukan oleh warga masyarat di luar sekolah. Jenis-jenis informasi yang diperlukan itu pada dasarnya sejalan dengan informasi yang telah diuraikan di atas yaitu perikehidupan beragama, berkeluarga, bekerja, bermasyarakat, dan bernegara dapat merupakan kebutuhan banyak warga masyarakat.

C. Layanan Penempatan dan Penyaluran
1. Penempatan dan Penyaluran Siswa di Sekolah
a. Layanan Penempatan di dalam Kelas
Layanan penempatan di dalam kelas ini merupakan jenis layanan yang paling sederhana dan mudah di bandingkan dengan layana penempatan penyaluran lainnya. Namun sebenarnya, penyelenggaraan tidak boleh di abaikan.
b. Penempatam dan Penyaluran ke dalam Kelompok Belajar
Pembentukan kelompok belajar mempunyai dua tujuan pokok. Pertama untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing.Kedua, untuk wadah belajar bersama. Berbeda dengan cara pengelompokkan pertama, dalam pengelompokkan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga dalam suatu kelompok belajar akan terdapat siswa-siswa yang kemampuannya pandai, sedang dan kurang.
c. Penempatan dan Penyaluran ke dalam Kegiatan Ko/Ekstra Kurikuler
Kegiatan ko/ekstrakurikuler merupakan bagian dari kurikulum.
d. Penempatan dan penyaluran ke Jurusan / Program Studi
Hendaknya siswa diarahkan untuk memahami tujuan,isi (kurikulum), sifat, syarat-syarat memasuki program studi tersebut.

2. Penempatan dan Penyaluran Lulusan
Saat seperti itu merupakan saat yang kritis bagi kebanyakan para lulusan, baik tamatan pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi

a. Penempatan dan Penyaluran ke dalam Pendidikan Lanjutan
Penempatan dan penyaluran siswa pada pendidikan lanjutan tidak dapat dilakukan secara acak, tetapi memerlukan perencanaan yang matang sebelum siswa tamat dari bangku sekolah yang sedang didudukinya.
b. Penempatan dan Penyaluran ke dalam Jabatan /Pekerjaan
Apabila trio” guru-koonselor-orang tua” kompak dan matang dalam menangani layanan penempatan dan penyaluran demi kebahagaiaan anak, sangat diharapkan perkembangan anak berada pada jaur yang tepat.
D. Layanan Bimbingan Belajar
Layanan Bimbingan Belajar melalui tahap-tahap :
1. Pengenalan Siswa yang Mengalami Masalah Belajar
Masalah belajar memiliki bentuk yang banyak ragamnya, yang pada umumnya dapat digolongkan atas ;Ketercepetan dalam belajar, sangat lamban dalam belajara, Kurang motivasi dalam belajar, Bersikap dan berkebiasaan buruk dalam belajar.
Siswa yang mengenali masalah tersebut dapat dikenali melalui prosedur pengungkapan melalui tes hasil belajar, tes kemampuan dasar, skala pengungkapan sikap dan kebiasaan belajar, dan pengamatan.
2. Upaya Membantu Siswa yang Mengalami Masalah Belajar
Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
a) Pengajaran perbaikan
b) Kegiatan Penganyaan
c) Peningkatan Motivasi Belajar
d) Pengembangan Sikap dan Kebiasaan Belajar yang Baik.
E. Layanan Konseling Perorangan
Konseling merupakan “jantung hatinya” pelayanan bimbingan secara menyeluruh. Untuk dapat menguasai “jantung hati” bimbingan sebagaimana dijabarkakn di atas konselor perlu memelajarinya, menerapkan dan berpengalman luas dalam layanan konseling itu dengan segenap seluk beluknya.
1. Layanan Konseling Diselenggarakan Secara Resmi
Sifat “resmi’’ layanan konseling ditandai dengan adanya ciri-ciri yang melekat pada pelaksanaan layanan itu, yaitu bahwa:
a) Layanan itu merupakan usaha yang disengaja
b) Tujuan layanan tidak boleh lain daripada untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
c) Kegiataan layanan diselenggarakan dalam format yang telah ditetapkan.
d) Metode dan Teknologi dalam layanan berdasar teori yang telah teruji.
e) Hasil layanan dinilai dan diberi tindak lanjut.
2. Pengentasan Masalah Melalui Konseling
Langkah-langkah pengentasan masalah melalui konseling pada dasarnya adalah :
a) Pemahaman Masalah
b) Analisi sebab-sebab timbulnya masalah
c) Aplikasi metode khusus
d) Evaluasi
e) Tindak lanjut.
3. Tahap-Tahap Keefektifan Pengentasan Masalah Melalui Konseling
Keefektifan pengentasan masalah melalui konseling sebenarnya dapat dideteksi sejak awal klien mengalami masalah. Dari keadaan yang palinga awal itu sampai konseling yang paling akhir nantinya pada waktu masalah klien terentaskan, dapat diidentifikasi lima tahap. Tahap pertama, dimulai ketika klien menyadari bahwa dirinya mengalami masalah. Kesadaran bahwa individu memerlukan bantuan orang lain itulah yang merupakan tahap keefektifan kedua. Individu itu memang gigih dalam mengupayakan pemecaahan masalahnya, maka ia benar benar mampu dan bertanggung jawab dalam membantu pemecahan masalah klien itu. Disinilah tampilnya tahap keefektifan ketiga.Klien dituntut untuk aktif dalam proses konseling. Keaktifan klien inilah yang justru menenyukan tahap keempat keefektifan konseling, dan partisipasi aktif klien itulah yang merupakan keefektifan konseling.
4. Pendekatan dan Teori Konseling
Apabila ditilik lebih lanjuut teori-teori tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan, yaitu pendekatan konseling direktif, non direktif, dan konseling elektrik.
a. Konseling Direktif
Konseling direktif, yang karena proses dan dinamika pengentasan masalahnya mirip “ penyembuhan penyakit”, yang juga disebut “konseling klinis” (clinical konseling). Konseling direktif ini sering juga disebut konseling yang beraliran Behavioristik, yaitu layanan konseling yang berorientasi pada pengubahan tingkah laku secara langsung (Hansen,dkk,1977) dan Brammer & Stone,1982).
b. Konseling Non-Direktif
Konseling Non-Direktif sering disebut juga “Ciient Centered Therapy”. Konseling non direktif merupakan upaya bantuan pemecahan masalah yang berpusat pada klien. Melalui pendekatan ini, klien diberi kesempatan mengemukkan persoalan, perasaan, dan pikiran secara bebas.
c. Konseling Elektrik
Konseling Elektik merupakan titik tengah antara Konseling Direktif dan Konseling Non-Direktif. Pendekatan atau teori mana yang cocok digunakan sangan ditentukan oleh beberapa faktor :
a. Sifat masalah yang dihadapai.
b. Kemampuan klien dalam memainkan peranan dalam proses konseling
c. Kemampuan konselor itu sendiri, baik pengetahuan maupun keterampilan.

5. Konseling di Lingkungan Kerja yang Berbeda
Disadari bahwa lingkngan kerja yang berbeda-beda itu menuntut berbagai pengkhususan pelaksanaan pelayanan konseling, namun dengan berbagai pendekatan, teori dan metodologi yang dimiliki konselor diharapkan mampu memenuhi tuntutan setiap lingkungan kerja.
a) Konseling di Sekolah Dasar
Kenyataan bahwa anak-anak SD merupakan subyek sasaran layanan yang masih amat muda membawa konsekuensi bahwa konselor harus menyesuaikan segenap kemampuannya dalam konseling terhadap kondisi perkembangan anak-anak tersebut. Konselor yang bertujuan memberikan layanan konseling di SD harus memilii khasanah teori dan teknik konseling yang justru lebih kaya dari pada mereka yang bertujuan di lingkungan sekolah yang lebih tinggi (Nugent, 1981). Dibanding dengan layanan konseling perorangan, layanan konseling kelompok agaknya lebih mungkin dilaksanakan dengan anak-anak SD.
Segi lain tentang layanan konseling di SD ialah berkenaan dengan kerahasiaan. Van Hoose (Nugent, 1981) menegaskan bahwa, meskipun anak-anak SD pada kenyataannya masih amat muda dan tergatung kepad orang tua dan guru, itu tidak berarti bahwa asa kerhasiaan dalam layanan konseling dengan anak-anak itu tidak boleh diabaikan.
Hal lain lagi yang perlu mendapat perhatian konselor ialah bagaimana mendorong kepada anak-anak untuk datang kepada konselor untuk memperoleh layanan bimbingan. Nugent (1981) melihat empat sumber yang memungkinkan alih tangan anak-anak kepada konselor, yaitu guru, kepala sekolah, anak itu sendiri, dan konselor sendiri.Konselor sendiri juga merupakan figur yang penting sebagai sumber alih tangan
Hubungan baik antara konselor dengna murid, ditambah dengan pemahaman yang cukup baik dari anak-anak tentang fungsi dan peranan konselor yang dapat diberikan kepada mereka, akan banyak menentukan frekuensi dan intensitas pemanfaatan jasa konseling oleh anak-anak SD. Tidak boleh dilupakan pernan orang tua secara langsung jugamempunyai pemahaman yang paling lengkap tentang anak (khususnya tentang hal-hal yang terjadi di luar sekolah).
b) Konseling di Sekolah Menengah
Bentuk-bentuk permasalahan khusus seperti masalah hubungan muda-mudi, masalah perkembangan seksual, masalah sosial dan ekonomi, masalah masa depan banyak muncul di antara para remaja. Aplikasi pendekatan dan teknik konseling serta penyesuaian banyak tergantung pada keunikan klien dan masalahnya, serta spesialisasi keahlian konselor sendiri. Tentang sumber alih tangan klien, sama dengan yang telah diuraikan terdahulu, yaitu sangat mengandalkan pada peranan guru, kepala sekolah, siswa serta konselor sendiri, serta orang tua.
c) Konseling di Perguruan Tinggi
Perbedaan antara konseling di sekolah menengah dn di perguruan tinggi di warnai oleh arah perkembangan dan tujuan-tujuan yang hendak di capai oleh kekompleksan program pendidkan dan latihan di kedua jenjang pendidikan itu. Berkenaan dengan hal itu semua, masalah-masalah yang muncul, yaitu masalah-masalah social pendidikan, pekerjaan, dan masalah-masalah pribadi diri sendiri (personsl) banyak yang diwarnai oleh kondisi akademik perguruan tinggi dan tuntutan kemandirian.
Praktek pelaksanaan konseling di perguruan tinggi tidak banyak berbeda dari pelaksanannya di sekolah menengah. Unit dan pelayanan bimbingan konseling yang ada perlu bekerja sama dengan unit-init yang langsung berhubungan dengan mahasiswa, pertama untuk ikut serta memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling, dan kedua untuk jadi ‘agen alih tangan’.
d) Konseling di Masyarakat
Dipandang dari segi masalah kilen serta pendekatan dan teknik konseling, layanan konseling di masyarakat (di luar satuan pendidikan formal ) tidak berbeda dari layanan di satuan pendidikan. Konselor yang bekerja di masyarakat secara potensial akan melayani klien untuk semua umur, dari anak-anak yang masih amat muda ( murid SD ) sampai dengan orang-orang berusia lanjut, dengan masalah yang amat bervariasi.
F. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok
Dengan satu kali kegiatan, layanan itu memberikan manfaat atau jasa kepada sejumlah orang. Pada zaman yang perlu menekankan adanya efisiensi, perlunya perluasan pelayanan jasa yang mampu menjangkau lebih banyak konsumen secara tepat dan cepat, layanan kelompok semakin menarik.
Dalam layanan kelompok interaksi dari individu anggota kelompok merupakan suatu yang khas, tidak mungkin terjadi pada konseling perorangan. Dengan interaksi social yang intensif dan dinamis selama berlangsungnya layanan, diharapkan tujuan-tujuan layanan ( yang sejsjsr dengan kebutuhan-kebutuhan individu anggota kelompok ) dapat tercapai secara mantap.
1. Ciri-Ciri Kelompok
Beberapa unsure perlu ditambahkan apabila kumpulan sejumlah orang hendak menjadi sebuah kelompok. Unsur-unsur tersebut yang paling pokok menyangkut tujuan, keanggotaan dan kepemimpinan, serta aturan yang diikuti. Sekumpulan orang akan menjadi kelompok apabila mereka mempunyai tujuan bersama.
Selanjutnya, sekelompok yang sudah memiliki tujuan, anggota dan pemimpin itu tidaklah lengkap bila belum memiliki aturan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatqannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa suatu kelompok membutuhkan aturan, nilai-nilai, atau pedoman yang memungkinkan seluruh anggota bertindak dan mengarahkan diri bagi pencapaiaan tujuan-tujuan yang mereka kehendaki.
Keempat unsur terbentuknya kelompok tersebut berlaku untuk semua jenis kelompok, baik ditinjau dari jumlah anggota maupun sifat dan tujuan terbentuknya kelompok. Kombinasi karakteristik kelompok itu ( jumlah, sifat, dan tujuan pembentukannya ) dapat terpadu dalam satu kelompok. Kelompok apapun yang terbentuk menuntut adanya unsur-unsur tujuan bersama, keanggotaan dan kepemimpinan, serta aturan.
2. Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok adalah layanan bimbingan yang diberikan dalam suasana kelompok. Adanya beberapa hal yang menunjukan hoomogenitas dalam kelompok, yaitu : Pertama bimbingan kelompok para anggota kelompok homogen ( yaitu siswa-siswa satu kelas atau satu tingkat kelas yang sama ). Kedua, masalah yang dialami oleh semua anggota kelompok adalah sama, yaitu memerlukan informasi yang akan disajikan itu. Ketiga, tindak lanjut dari diterimanya informasi itu juga sama, yaitu untuk menyusun rencana dan membuat keputusan. Dan keempat, reaksi atau kegiatan yang dilakukan oleh para anggota dalam proses pemberian informasi ( dan tindak lanjutnya) secara relatif sama ( seperti mendengarkan, mencatat, bertanya ). Ciri homogenitas inilah yang ikut menandai layanan bimbingan kelompok dan membedakannya dari konseling kelompok.
3. Konseling Kelompok
Terjadinya hubungan konseling dalam suasana yang diusahakan sama seperti dalam konseling perorangan, yaitu hangat, terbuka, permisif, dan penuh keakraban. Dimana juga ada pengungkapan dan pemahaman masalah klien, penelusuran sebab-sebab timbulnya masalah, upaya pemecahan masalah ( jika perlu dengan menerapkan metode-metode khusus) kegiatan evauasi dan tindak lanjut.
Unsur-unsur konseling perorangan tampil secara nyata dalam konseling kelompok. Kalau demikian adanya, apa yang konseling kelompok dari konseling perorangan ? Satu hal yang paling pokok ialah dinamika interaksi sosial yang dapat berkembang secara intensif dalam suasana kelompok, yang justru tidak dapat dijumpai dalam konseling perorangan.
Mengenai kondsi homogenitas dan heterogenitas yang terdapat di dalam konseling kelompok dapat dilihat bahwa anggota kelompok sedapat dapatnya homogen, artinya semua anggota kelompok diharapkan dapat menyumbangkan sesuatu dalam pengembangan dinamika interaksi social yang terjadi di dalam kelompok.
Mengenai masalah yang dibahas dalam konseling kelompok, selai masalah yang bervariasi seperti tersebut, konselor dapat menetapkan ( melalui persetujuan anggota kelompok) masalah tertentu yang akan dibahas dalam kelompok. Pengajuan masalah atau topik tunggal itu dilakukan apabila tujuan utama konseling kelompok itu ialah pengembangan keterampilan komunikasi dan interaksi sosial para anggota.
Sikap konselor dan para anggota serta suasana yang sepenuhnya sejalan dengan asas kerahasiaan itu merupakan salah satu aturan yang khas harus diikuti oleh seluruh warga kelompok, dan hal itu merupakan cirri khusus pula dari konseling kelompok.
G. Kegiatan Penunjang
Pelaksanaan berbagai jenis layanan bimbingan dan konseling memerlukan berbagai kegiatan penunjang.
Agaknya memang benar apabila bahwa alat dan kelengkapan yang paling handal dimiliki oleh konselor untuk menjalankan tugas pelayanannya ialah mulut dan berbagai keterampilan berkomunikasi.
1. Instrumentasi Bimbingan dan Konseling
Instrumentasi bimbingan dan konseling memang merupakan salah satu sarana yang perlu dikembangkan agar pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling terlaksana secara lebih cermat dan berdasarkan data empirik. Termasuk kedalam instrument ynag dimaksudkan itu adalah berbagai tes, inventori, angket dan format isian. Sedang untuk pemahaman lingkungan yang lebih luas dapat digunakan berbagai brosur, leaflet, selebaran, model, contoh dan lain sebagainya. Ada beberapa pertimbangan yang perlu mendapat perhatian para konselor dalam penerapan instrumentasi bimbingan dan konseling. Antara lain ialah :
a) Instrumen yang dipakai haruslah shahih dan terandalkan.
b) Pemakaian instrument ( dalam hal ini konselor ) bertanggung jawab atas pemilihan instrument yang akan dipakai.
c) Pemakaian instrument, misalnya harus dipersiapkan secara matang, bukan hanya persiapan instrumenya saja tetapi persiapan klien yang akan mengambil tes itu.
d) Perlu diingat bahwa tes atau instrument apapun hanya merupakan salah satu sumber dalam rangka memahami individu secara lebih luas dan dalam.
e) Ada dan dipergunakannya berbagai instrumen lainnya bukanlah syarat mutlak bagi pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling.
Instrumen bimbingan dan konseling meliputi digunakan dan dikembangkannya berbagai istrumen, baik berupa tes maupun non-tes.
1) Instrumen tes
Tes merupakan suatu prosedur untuk mengungkapkan tingkah laku seseorang dan menggambarkannya dalam bentuk skala angka atau klasifikasi tertentu (Cronbach, 1970). Berbagai hal yang dipeloleh konselor dari hasil tes dipergunakan konselor untuk menetapkan jenis layanan yang perlu diberikan kepada individu yang dimaksudkan.
2) Instrumen Non-Test
Instrumen non-test meliputi berbagai prosedur, seperti pengamatan, wawancara, catatan anekdot, angket, sosiometri, inventori yang dibakukan. Sedangkan melalui inventori yang dibakukan akan dapat diungkapkan berbagai hal yang biasanya merupakan pokok pembahasan dalam rangka pelayanan bimbingan dan konseling secara lebih luas, seperti pengungkapan jenis-jenis masalah yang dialami individu, sikap dan kebiasaan belajar siswa.
2. Penyelenggaraan Himpunan Data
Data yang telah terkumpul melalui berbagai teknik atau prosedur untuk sejumlah individu perlu perlu dihimpun secara cermat. Seluruh data itu perlu dihimpun dan disusun menurut suatu sistem yang jelas, sehingga pemasukan dan pengeluarannya ( untuk dipakai ) dapat dilakukan dengan mudah dan tetap terpelihara. Himpunan data pribadi sering disebut cumulative record.
Data yang perlu dikumpulkan, disusun dan dipelihara meliputi data pribadi dan data umum. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka penyelenggaraan himpunan dan dan pemanfaatannya secara optimal.
a) Materi himpunan data yang baik ( akurat dan lengkap ) sangat berguna untuk memberikan gambaran yang tepat tentang individu.
b) Data tentang individu selalu bertambah, berubah, berkembang, dan dinamis.
c) Data yang terkumpul disusun dalam format-format yang teratur dan rapi menurut sistem tertentu.
d) Data dalam himpunan data itu pada dasarnya bersifat rahasia.
e) Mengingat bahwa data yang dikumpulkan cukup banyak, harus juga ditambah ataupun dikurangi sesuai dengaqn perkembangan, lagi pula pengeluaran data (untuk dipakai) dan pemasukannya kembali memakan waktu yang cukup banyak, konselor sering terjebak oleh pekerjaan rutin penyelenggaraan himpunan data itu.
Selain berkepentingan dengan himpunan data pribadi siswa, konselor di sekolah perlu juga untuk mengumpulkan data umum, yaitu data yang menyangkut berbagai informasi dan berbagai hal tentang lingkungan yang lebih luas.
3. Kegiatan Khusus
Masih ada beberapa kegiatan khusus yang memerlukan perhatian konseor. Khususnya konselor yang bekerja di sekolah, untuk dapat diselenggarakan dengan baik. Disini hnaya akan disinggung tiga kegiatan, yaitu :
a) Konfrensi Kasus
Tujuan konfrensi kasus adalah sebagai berikut :
(1) Diperoleh gambaran yang lebih jelas, mendalam dan menyeluruh tentang permasalahan siswa.
(2) Terkomunikasinya sejumlah aspek permasalahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan yang bersangkutan, sehingga penanganan masalah itu menjadi lebih mudah dan tuntas.
(3) Terkoordinasinya penanganan masalah yang dimaksud sehingga upaya penanganan itu lebih efektif dan efisisen.
Konfrensi kasus untuk suatu permasalahan dapat dilakukan beberapa kali, sesuai dengan perkembangan penanganan masalah yang dimaksud. Hasil dari laporan konfrensi kasus ini dimasukan ke dalam himpunan data.
b) Kunjungan Rumah
Kunjungan rumah tidak perlu dilakukan untuk seluruh siswa, hanya untuk siswa yang permasalahannya menyangkut dengan kadar yang lebih kuat peranan rumah atau orang tua sajalah yang memerlukan kunjungan rumah. Kegiatan kunjungan rumah, dan juga pemanggilan orang tua ke sekolah, setidak-tidaknya memiliki tiga tujuan utama yaitu :
(1) Memperoleh data tambahan mengenai permasalahan siswa, khususnya yang menyangkut paut dengan keadaan rumah orang tua.
(2) Menyampaikan kepada orang tua tentang permasalahan anaknya.
(3) Membangun komitmen orang tua terhadap penanganan masalah anaknya.
Tahap penanganan masalah untuk penyampaian tujuan yang manapun sebagian atau bertahap dalam kunjungan rumah konselor terlebih dahulu :
(1) Menyampaikan perlunya kunjungan rumah kepada siswa yang bersangkutan.
(2) Menyusun rencana dan agenda yang konkret dan menyampaikannya kepada orang tua yang akan dikunjungi itu.
c) Alih Tangan
Kegiatan alih tangan meliputi dua jalur, yaitu jalur kepada konselor dan jalur dari konselor. Jalur kepada konselor, dalam arti konselor menerima kiriman klien dari pihak-pihak lain, seperti orang tua, kepala sekolah, guru, pihak atau ahli lain (misalnya dokter, psikister, psikolog, kepala suatu kantor atau perusahaan). Sedangkan jalur dari konselor, dalam arti konselor mengirimkan klien yang belum tutas ditangani kepada ahli-ahli lain, seperti konselor yang lebih senior, konselor yang membidangi spesialisasi tertentu, ahli-ahli lain ( misalnya guru bidang studi, psikologi, psikister, dan dokter ).
Dalam kaitan itu, Cormier dan Bernard ( 1982 ) mengemukakan beberapa praktek yang salah yang hendaknya tidak dilakukan konselor dalam kegiatan alih tangan, yaitu :
(1) Klien tidak diberi alternatif pilihan kepada ahli mana ia akan dialih tangankan.
(2) Konselor mengalihtangankan klien kepada pihak yang keahliannya diragukan, atau kepada ahli yang reputasinya krang dikenal.
(3) Konselor membicarakan permasalahan klien kepada calon ahli tempat alih tangan tanpa persetujuan klien.
(4) Konselor menyebutkan nama klien kepada calon ahli tempat alih tangan.
Layanan orientasi mengacu pada diperkenalkannya individu atau klien kepada lingkungan yang baru dimasukinya. Dengan program orientasi itu proses penyesuaian diri individu kepada lingkungan biasanya akan lebih cepat sehingga dapat menjalani perkembangan dan kehidupannya di lingkungan yang baru itu secara normal.
Berbagai informasi diperlukan oleh individu-individu, dan layanan informasi yang lazim dipakai ialah ceramah, diskusi, karyawisata, buku panduan, dan konfrensi karier.
Konseling program adalah layanan yang amat khas, yaitu komunikasi langsung tatap muka antara klien dan konselor. Para konselor yang menyelenggarakan layanan konseling perorangan yang unik itu biasanya mendasarkan pelaksanaan layanan pada pendekatan ataupun teori konseling tertentu. Secara garis besar pada umumnya dikenal tiga pendekatan, yaitu pendekatan konseling direktif, non-direktif, dan elektrik. Konselor dapat menganut salah satu pendekatan itu, namun agaknya pendekatan elektrik lebih banyak penganutnya.
Pelaksanaan berbagai layanan tersebut perlu ditunjang oleh sejumlah kegiatan. Kegiatan penunjang lain yang cukup penting adalah konfrensi kasus, kunjungan ke rumah, dan penyelenggaraan alih tangan. Masing-masing kegiatan tersebut memilki tujuan dan pola-pola pelaksanaannya sendiri-sendiri yang kesemuanya tidak lain untuk meningkatkan penyelenggaraan dan keberhasilan segenap fungsi pelayanan bimbingan dan konseling.





















BAB VIII
BIMBINGAN DAN KONSELING SEBAGAI PROFESI

A. Pengertian dan Ciri-Ciri Profesi
Istilah profesi memang selalu menyangkut pekerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan dapat disebut profesi. Untuk mencegah kesimpangsiuran tentang arti profesi dan hal-hal yang bersangkut paut dengan itu, berikut ini dikemukakan beberapa istilah dan ciri-ciri profesi.
1. Beberapa Istilah Tentang Profesi
Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Profesional menunjukan kepada dua hal. Pertama, menyandang suatu profesi. Kedua, penampilan seorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Profesionalisme menunjuk kepada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan suatu strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Profesionalitas, mengacu kepada sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta suatu derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya. Profesionalisasi menunjuk pada proses peningkatan kualifikasi maupaun kemampuan para anggota suatu profesi dalam mencapai criteria yang standar dalam penampilannya sebagai anggota suatu profesi. Oleh sebab itu, profesionalisasi merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat dan tanpa henti.
2. Ciri-Ciri Profesi
Ciri-ciri utama dari suatu profesi yaitu sebagai berikut :
a. Suatu profesi merupakan suatu jabatan atas pekerjaan yang memiliki fungsi dan bermaknaan social yang sangat menentukan.
b. Untuk mewujudkan fungsi tersebut pada butir di atas para anggotanya ( petugasnya dalam pekerjaan itu ) harus menampilkan pelayanan yang khusus yang di dasarkan atas teknik-teknik intelektual, dan keterampilan-keterampilan tertentu yang unik.
c. Penampilan layana tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin saja, melaikan bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi yang kritis yang menganut pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d. Para anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu yang didasarkan atas ilmu yang jelas, sistematis, eksplisit, bukan hanya didasarkan atas akal sehat.
e. Untuk dapat menguasai kerangka ilmu itu diperlukan pendidikan dan latihan dalam jangka waktu yang cukup lama.
f. Para anggotanya secara tegas dituntut untuk memiliki kompetensi minimum melalui seleksi, pendidikan dan pelatihan, serta lisensi ataupun sertifikasi.
g. Dalam menyelenggarakan kepada pihak yang dilayani, para anggota memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi dalam memberikan pendapat dan pertibangan serta membuat keputusan tentang apa yang dilakukan berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan professional yang dimaksud.
h. Para anggotanya, baik yang perorangan maupun kelompok, lebih mementingkan pelayanan yang bersifat social dari pada pelayanan yang mengejar keuntungan bersifat ekonomi.
i. Standar tingkah laku bagi anggotanya dirumuskan secara tersurat ( eksplisit ) melalui kode etik yang benar-benar diterapkan, setiap pelanggaran atas kode etik dapat dikenakan sanksi tertentu.
j. Selama berada dalam pekerjaan itu, para anggotanya terus-menerus berusaha menyegarkan dan meningkatkan kompetensinya dengan jalan mengikuti secara cermat literature dalam bidang pekerjaan itu, menyelenggarakan dan memahami hasil-hasil riset, serta beberapa secara aktif dalam pertemuan-pertemuan sesame anggota.
B. Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling
Sebagai profesi yang handal, bimbingan dan konseling masih perlu dikembangkan, bahkan diperjuangkan. Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain adalah melalui :
1. Standarisasi Unjuk Kerja Profesional Konselor
Unjuk kerja konselor yang ditetapkan oleh American School Counslor Association (ASCA), yaitu sebagai berikut :
a) Menyusn program bimbingan dan konseling.
b) Menyelenggarakan konseling perorangan.
c) Memahami diri siswa.
d) Merencanakan pendidikan dan pengembangan pekerjaan siswa.
e) Mengalihtangankan siswa.
f) Menyelenggarakan penempatan siswa.
g) Memberikan bantuan kepada orang tua.
h) Mengadakan konsulatasi dengan aktif.
i) Mengadakan hubungan dengan masyarakat.
(2) Standarisasi Penyiapan Konselor
Khusus tentang penyiapan konselor melalui program pendidikan dalam jabatan, waktunya cukup lama, dimulai dari seleksi dan penerimaan calon mahasiswa yang akan mengikuti program sampai pada lulusannya diwisuda. Program pendidikan prajabatan konselor adalah jenjang pendidikan tinggi.
a. Seleksi Penerimaan Mahasiswa.
Komisi tugas, standar, dan kulaifikasi konselor Amerika Serikat ( dalam Mortense dan Schmuller, 1976 ) mengemukakan syarat-syarat pribadi yang harus dimiliki oleh konselor sebagai berikut :
(1) Memiliki bakat skolastik yang memadai untuk mengikuti pendidikan tingkat sarjana muda atau yang lebih tinggi.
(2) Memiliki minat dan kemauan yang besar untuk bekerja sama dengan orang lain.
(3) Memiliki kemampuan untuk bekerja dengan orang-orang dari berbagai latar belakang.
(4) Memiliki kemampuan pribadi dan social, meliputi kepekaan terhadap orang lain, kebijaksanaan, keajengan, rasa humor, bebas dari kecendrungan-kecendrungan suka menyendiri, mampu mengambil pelajaran dan kesalahan-kesalahan, dan mampu menerima kritik, berpenampilan menyenangkan, sehat suara menyenangkan, memiliki daya tarik, dan bebas dari tingkah laku yang tidak menyenangkan.
Dalam kaitannya dengan peranan konselor untuk membantu membangun generasi muda, Goldman (1969) menambahkan bahwa calon-calon konselor yang diperlukan ialah orang-orang yang memiliki :
(1) Pemahaman yang mendalam tentang pemuda.
(2) Sifat-sifat pribadi yang disukai oleh pemuda, seperti berpikir kritis, imajinatif, berani, dan bertanggung jawab.
b. Pendidikan Konselor
Untuk pelayanan profesional bimbingan dan konseling yang didasarkan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, maka pengetahuan, sikap dan keterampilan konselor yang akan ditugaskan pada sekolah tertentu itu perlu disesuaikan dengan berbagai tuntutan dan kondisi sasaran layanan, termasuk umur, tingkat pendidikan dan tahap perkembangan anak.
Kurikulum program pendidikan konselor mengacu pada standar kemampuan konselor yang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dilapangan. Materi kurikulum program studi meliputi :
(1) Materi inti, yaitu materi tentang pertumbuhan dan perkembangan individu, dasar-dasar ilmu social dan kebudayaan, teori tentang pemberian bantuan, dinamika kelompok, gaya hidup dan perkembangan karier, pemahaman individu, riset dan evaluasi, orientasi professional.
(2) Studi lingkungan dan studi khusus, yaitu materi tentang studi lingkungan dan materi khusus sesuai dengan keperluan mahasiswa untuk bekerja dalam lingkungan tertentu.
(3) Pengalaman tersupervisi, yaitu kegatan praktek langsung pelayanan bimbingan dan konseling baik melalui kegiatan di laboratorium, praktikum dan intership, maupun praktek pengalaman lapangan yang sesuai dengan cita-cita karier mahasiswa, dan kesempatan berinteraksi dengan sejawat dan organisasi professional.
Penyusunan kurikulum dan program pengajaran perlu memperhatikan prinsip-prinsip proses pengalaman belajar-mengajar yang bersifat aktif, kreatif, dan teknologis, kaitan antara teori dan praktek perlu pertimbangan kompetensi dan relevansi.
Dalam standar yang dikemukakan tersebut, pendidikan konselor diselenggarakan minimal 2 tahun sesudah jenjang setingkat sarjana muda. Sedangkan program doktornya meliputi 4 tahun akademi, termasuk di dalamnya program intership selama satu tahun penuh.
c. Akreditasi
Akteditasi merupakan prosedur yang secara resmi diakui bagi suatu profesi untuk mempengaruhi suatu jenis dan mutu anggota profesi yang dimaksud (Steinhouser dan Bradley, dalam Prayitno, 1987).
Tujuan pokok akreditasi adalah untuk memantapkan kredibilitas profesi. Tujuan ini lebih lanjut dirumuskan sebagai berikut :
(1) Untuk menilai bahwa program yang ada memenuhi standar yang ditetapkan oleh profesi.
(2) Untuk menegaskan misi dan tujuan program.
(3) Untuk menarik calon konselor dan tenaga pengajar yang bermutu tinggi.
(4) Untuk membantu para lulusan memenuhi tuntutan kredensial, seperti lisensi.
(5) Untuk meningkatkan kemampuan program dan pengakuan terhadap program tersebut.
(6) Untuk meningkatkan program dari penampialn dan penutupan.
(7) Untuk membantu mahasiswa yang berpotensi dalam seleksi memakai program pendidikan konselor.
(8) Memungkinkan mahasiswa dan staf pengajar berperan serta dalam evaluasi program secara intensif.
(9) Membantu para pemakai lulusan untuk mengetahui program mana yang telah standar.
(10) Untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pendidikan, masyarakat profesi dan masyarakat pada umumnya tentang kemantapan pelayanan bimbingan dan konseling.
d. Sertifikasi dan Lisensi
Sertifiksi merupakan upaya lebih lanjut untuk lebih memantapkan dan menjamin profesionalisasi bimbingan dan konseling. Hal ini semua dimaksudkan untuk menjag aprofesionalitas para petugas yang akan menangani pelayanan bimbingan dan konseling.
e. Pengambangan Organisasi Profesi.
Organisasi profesi adalah himpunan orang-orang yang mempunyai profesi sama. Tujuan organisasi profesi dapat dirumuskan ke dalam “tri darma orgaisasi profesi”, yaitu :
(1) Pengembangan Ilmu.
(2) Pengembangn pelayanan.
(3) Penegakan kode etik professional
Selama perkembangannya sejak awal sampai dewasa ini terdapat beberapa peristiwa penting yang menjadi tonggak-tonggak sejarah perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia, yaitu :
1. Tahun 1971
Berdirinya proyek perintis sekolah pembangunan (PPSK) pada delapan IKIP, yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Malang, IKIP Surabaya, dan IKIP Malang.
2. Tahun 1975
Lahir dan berlakunya kurikulum sekolah menengah umum yang disebut Kurikulum SMA 1975 sebagai pengganti kurikulum sebelumnya ( Kurikulum 1968 ).
3. Tahun 1975
Diadakannya Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang.
4. Tahun 1978
Diselenggarakannya program PGSLP dan PGSLA bimbingan dan penyuluhan sebagai suatu upaya pengangkatan tamatan jurusan BP yang telah dihasilkan oleh IKIP tetapi belum ada jatah jabatannya, disamping untuk mengisi kekosongan jabatan guru bimbingan di sekolah.
5. Tahun 1989
Lahirnya Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
6. Tahun 1989
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
7. Tahun 1991 sampai dengan 1993 :
a) Dibentuk Divisi-Divisi dalam IPBI
b) Diperjuangkan oleh IPBI jabatan fungsional tersendiri bagi petugas bimbingan di sekolah.


W. Mengantar dan Menerima Alih Tangan (Referral)
190. Menjelaskan pengertian, tujuan, kegunaan dan contoh-contoh pelayanan alih tangan kepada klien dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan persyaratan BK.
191. Mencari ahli lain yang akan menjadi tujuan alih tangan sesuai dengan masalah klien.
192. Menganalisis perkembangan pemecahan masalah dan menetapkan masalah mana yang erlu diperlukan.
193. Menerima dengan sukarela dan penuh kehangatan terhadap klien yang diahlitangankan oleh pihak lain.

X. Menyelenggarakan Diskusi Profesional BK
205. Menjelaskan pengertian, tujuan, kegunaan, dan contoh-contoh diskusi profesional BK kepada pihak-pihak yang memerlukan.
206. Mengidentifikasikan masalah-masalah yang perlu dan dapat dibahas dalam diskusi profesional BK.
207. Menerapkan syarat-syarat atau pembahasan dalam diskusi profesional BK sesuai dengan asas-asas (kode etik) BK.
208. Menetapkan pihak-pihak yang perlu diikutsertakan dalam diskusi profesional BK.
209. Mengatur format dan memberikan penstrukturan dalam diskusi profesional BK.
210. Merencanakan dan mempersiapkan diskusi profesional BK.
211. Memimpin diskusi profesional BK.
212. Mengevaluasi proses dan hasil diskusi profesional BK.
213. Mencatat dan mengambil kesimpulan atas diskusi profesional BK.
214. Menyusun laporan tentang proses dan hasil-hasil diskusi profesional BK kepada pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan kode etik BK.

Y. Memahami dan Menilai Karya-karya Ilmiah dalam Bidang BK
205. Menetapkan topik-topik permasalahan yang layak ditulis sebagai karangan ilmiah tentang BK.
206. Mencari sumber bacaan yang bervariasi tentang BK sesuai dengan topik permasalahan tertentu.
207. Merangkum atau meringkaskan intisari karangan atas hasil karay tertentu tentang BK.
208. Memberikan komentar ataupun balikan terhadap karangan atau hasil karya tertentu tentang BK.
209. Yang akan disajikan dalam diskusi atau seminar.

Z. Menyelenggar akan dan Memahami Hasil Penelitian Dalam Bidang BK
210. Menetapkan permasalahan dalam bidang BK yang perlu diteliti.
211. Menyusun proposal penelitian tentang BK.
212. Menyusun instrument penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian tentang Bk.
213. Melaksanakan pengumpulan data dan pengolahan serta penafsiran data hasil penelitian tentang BK.
214. Menyusun laporan hasil penelitian tentang BK.
215. Penafsiran data hasil penelitian tentanng BK.
216. Menyelenggarakan kegiatan BK.
A. Menyelenggarakan Kegiatan BK pada Lembaga Lingkungan Kerja yang Berbeda
220. Menjelaskan karakteristik lembaga lingkungan kerja konselor yang berbeda (lingkungan konselor yang berbeda, lingkungan sekolah, kantor instansi, keluarga, dan sebagainya) dalam kaitannya dengan pelayanan Bk.
221. Menerapkan kegiatan bimbingan dan konseling terhadap klien dari lembaga lingkungan yang berbeda (lingkungan sekolah, kantor instansi, keluarga, dan sebagaianya).
222. Menyesuaikan kagiatan bimbingan dan konseling terhadap paraturan dan nilai-nilai dari lembaga / lingkungan kerja konseling yang berbeda (lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, kantor instansi, dan sebagainya) tanpa menyimpang dari asas-asas BK.


B. Menyelenggarakan Kegiatan BK pada Lembaga / lingkungan Kerja yang Berbeda
220. Berperan aktif dalam pengembangan profesi BK.
221. Berperan aktif dalam organisasi profesi Bk.
222. Berkonsultasi dengan berbagai pihak dalam rangka pengembangan profesional para petugas BK.
223. Memanfaatkan media massa seperti koran, radio untuk mengembangkan wawasan profesional para petugas BK.
224. Bekerja sama dengan organisasi profesi lain dalam rangka pengembangan profesi Bk.

KODE ETIK ANGGOTA
IKATAN PETUGAS BIMBINGAN INDONESI (IPBI)
Mukadimah
Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) merupakan organisasi ilmiah dan profesional para anggota pendidik yang bertugas di bidang bimbingan konseling dan bidang-bidang layanan bantuan kemanusiaan umumnya. Anggota organisasi ini adalah para petugas bimbinga konseling, baik yang bekerja di lingkungan sekolah maupun yang bertugas di luar sekolah, dan petugas lain yang pekerjaannya bersifat pemberian bimbingan-penyuluhan dan bantuan, yang semuanya bertugas memajukan pertumbuhan dan perkembangan individu.
Dorongan utama memasuki ikatan ini adalah kesadaran bahwa mereka sama-sama berada dalam profesi bimbingan atau bantuan, dan pekerjaan itu mempunyai arti serta nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, karena itu terhimpun dalam ikatan dengan kehendak untuk dapat terus meningkatkan kemampuan profesional guna meningkatkan mutu layanan demi kemaslahatan individu sebagai sasaran pelayanan bantuan.
Ikatan menyadari tugas dan misi para anggotanya, menetapkan perilaku pelaksanaan tugas yang dimaksudkan agar dapat dipedomani anggotanya dalam menjalankan tugas pelayanan profesional. Dan dapat juga menjadi sarana pengedalian mutu pelayanan yang ingin ditegakkan ikatan. Hal itu dimaksudkan untuk dijadikan alat belajar bagi pengembangan diri anggota menuju ke arah peningkatan mutu layanan yang lebih tinggi.
Bagian 1 : umum
1. Mengingat adanya keragaman keanggotaan ikatan, anggota selalu memeriksa status dirinya di dalam ikatan mengingat latar belakang tempat kerja. Agar ia bisa mengidentifikasikan jenis dan tingkatan layanan apa yang bisa diberikan. Tujuan semua itu adalah agar bisa menjawab pertanyaan apakah dirinya memiliki kewenangan yang dituntut untuk pelayanan itu.
2. Dengan masuk ikatan, anggota menyadari bahwa ia mempunyai kewajiban ikut memajukan profesi.
3. Anggota sebagai pribadi selalu menilai perilaku dan sikap-sikapnya yang selaras dengan tuntutan kepribadian seorang tenaga profesional layanan bantuan. Dan harus dapat mengakui kelemahan dan kekurangan yang ada pada dirinya.Dan mengusahakan perbaikan yang diperlukan.
4. Anggota sebagai warga masyarakat Indonesia yang berdasarkan pancasila selalu memeriksa perilaku dan sikap dalam pergaulannya dengan orang lain, khususnya dengan individu yang dilayaninya dengan maksud mengusahakan agar diperoleh pola perilaku dengan norma-norma pergaulan masyarakat pancasila serta berusaha menjunjung nilai-niai pergaulan yang terkandung didalamnya.
5. Anggota menyadari kedudukannya sebagai pendidik dan bahwa apa pun perbuatannya berdampak pada orang lain, dan karena itu mengusahakan segala perbuatannya, tutur katanya, sikap pendiriannya sebagai teladan bagi orang lain.
6. Dalam hubungannya dengan orang lain, anggota dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak terpuji.
7. Dalam pergaulan dengan orang lain atau individu yang ditanganinya, anggota selalu berusaha untuk tidak melakukan tindakan atau perbuatan yang bisa merugikan orang lain, baik kerugian materiil ataupun immateriil. Anggota bertanggung jawab atas segala akibat perbuatannya pada orang lain.
8. Dalam melaksanakan tugas layanan di bidang bimbingan-konseling atau bentuk layanan lainnya. Anggota tidak memberikan layanan itu pada pertimbangan keuntungan keuangan atau kepentingan pribadi melainkan lebih banyak pada pertimbangan pada pengadian masyarakat dan kemanusiaan umumnya.
9. Dalam pergaulan umum dan khususnya dalam menjalankan tugas layanan bantuan, anggota tidak melakukan pembedaaan layanan atas dasar agama, kepercayaan, keyakinan, bangsa, suku, warna kulit, dan golongan politik.
10. Dalam memberikan keterangan anggota memastikan bahwa isi keterangan itu cermat, dapat dipercaya, obyektif.
Bagian II : Konseling
Anggota ikatan yang menjalankan tugas bantuan khusus berupa layanan konseling harus selalu berusaha mematuhi ketentuan kode etik yang berlaku bagi konselor seperti yang oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Hal ini bertujuan untuk memajukan kesejahteraan, menjaga kerahasiaan data atau keterangan mengenai klien dan pengungkapan diri klien ; tidak membeda-bedakan klien ; tahu batas-batas kewenangannya ; memberikan layanan yang bermutu ; tidak memberikan pelayanan dengan lebih mengutamakan imabalan jasa ; tidak memenuhi kebutuhan diri pribadi atas kerugian klien ; menghormati rekan dengan tidak mencampuri penanganan kasus klien yang sudah ditangani rekan itu.
Bagian III : Hubungan dengan Rekan Sejawat
1. Anggota wajib mengingatkan sesama rekan seprofesi, baik anggota ikatan maupun bukan, kalau diperoleh petunjuk atau informasi yang meragukan perilaku etisnya. Tujuannya adalah agar anggota mencapai standar tingkah laku profesional yang dikehendaki, demi kepentingan individu yang dilayani.
2. Dalam hubungannya dengan rekan atau orang lain, anggota ikatan atau bukan, anggota menjauhkan diri dari ucapan yang menjelek-jelekan nama baik rekan lain.
Bagian IV : koasaltasi
1. Anggota minta bantuan konsultasi kepada rekan dan dengan senang hati menerima uluran bantuan konsultasi dari rekan. Apabila ia mengalami kesulitan dalam tugas layanan bantuan demi keberhasilan dan mutu layanannya, atau apabila timbul kebutuhan untuk peningkatan kemampuan profesional diri.
2. Demikianpun, anggota dengan senang memberikan konsultasi profesional kalau diminta oleh rekan, baik anggota maupun bukan. Ia melakukan hal itu semata-mata atas alasan profesional dan bukan alasan kepentingan atas keuntungan pribadi.
Bagian V : Hubungan dengan Lembaga
1. Kalau anggota bekerja dalam satu lembaga maka ia menjalankan tugasnya baik sebagai individu yang dilayani maupun bagi lembaganya dengan mengusahakan mutu layanan setinggi mungkin sesuai dengan standar yang berlaku.
2. Kalau anggota bekerja di suatu lembaga maka pertimbangan yang utama dalam pelaksanaan tugasnya adalah lebih banyak bagi kepentingan individu yang dilayani daripada kepentingan lembaga. Apabila mendapat tugas yang sifatnya atau dampaknya bisa merugikan individu maka harus mempertimbangkannya.
Bagian VI : Testing
Anggota ikatan yang menjalankan tes atau menggunakan alat pengukuran psikologis pada umumnya harus mematuhi ketentuan kode etik yang dikeluarkan IPBI untuk konselor. Dan harus memeriksa kemampuannya dengan memperhatikan latar belakang pendidikan khusus di bidang testing.
Bagian VII : Penelitian
Kalau anggota ikatan melakukan penelitian, dan penelitian itu menggunakan orang sebagai subyeknya, maka ia mematuhi ketentuan etik yang berlaku yang pada intinya adalah bahwa ia mengusahakan agar subyek tidak dirugikan dan dengan memperhatikan kaidah dan prosedur penelitian dan pelaporan hasil yang berlaku dan diakui oleh masyarakat ilmu.
Bagian VIII : Publikasi
Dalam mempublikasikan hasil karya tulisnya, termasuk hasil karya penelitian, anggota selalu memperhatikan ketentuan teknis dan etnis yang berlaku di dalam pembuatan karya tulis dan penerbitannya serta mengusahakan sejauh mungkin bagi tercapainya taraf mutu yang tinggi.




BAB V
FUNGSI DAN PRINSIP-PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING
Ada empat fungsi bimbingan dan konseling yang dibahas pada bab ini, yaitu 1) fungsi pemahaman, 2) fungsi pencegahan, 3) fungsi pengentasan, dan 4) fungsi pemeliharaan dan pengembangan.
1. Fungsi pemahaman
Fungsi pemahaman memungkinkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan peningkatan perkembangan dan kehidupan klien (Klien sendiri, konselor, dan pihak ketiga) memahami berbagai hal yang esensial berkenaan dengan perkembangan dan kehidupan klien itu.
2. Fungsi pencegahan
Mengupayakan terhindarkannya individu atau klien dari akibat yang tidak menguntungkan, yaitu akibat yang berasal dari hal-hal yang berpotensi sebagai sumber permasalahan.
3. Fungsi pengentasan
Mengusahakan teratasinya masalah-masalah klien sehingga masalah itu tidak lagi menjadi hambatan ataupun menimbulkan kerugian tertentu atas perkembangan dan kehidupan klien.
4. Fungsi pemeliharaan dan perkembangan
Merupakan fungsi untuk mencapai tujuan umum pelayanan, yaitu memelihara dan memperkembangkan potensi individu dalam keempat dimensi kemanusiaannya.
Prinsip-prinsip bimbingan dan konseling merupakan pedoman dasar penyelenggaraan pelayanan oleh konselor, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Konselor terkait untuk menjalankan fungsi-fungsi yang diembannya itu berdasarkan prinsip-prinsip yang ada.
A. Fungsi Bimbingan dan Konseling
Pelayanan berguna dan memberikan manfaat untuk memperlancar dan memberikan dampak positif terhadap kelangsungan perkembangan dan kehidupan, khususnya dalam bidang tertentu yang menjadi fokus pelayanan yang dimaksud. Misalnya, pelayanan kesehatan berguna memberikan manfaat kepada yang berkepentingan untuk memperoleh informasi tentang kesehatan.
Fungsi suatu pelayanan dapat diketahui dengan melihat kegunaan, manfaat, ataupun keuntungan dan dapat diberikan oleh pelayanan yang dimaksud. Suatu pelayanan dapat dikatakan tidak berfungsi apabila ia tidak memperlihatkan kegunaan ataupun tidak memberikan manfaat atau keuntungan tertentu.
Fungsi bimbingan dan konseling ditinjau dari kegunaan atau manfaat. Fungsi-fungsi itu banyak dan dapat dikelompokkan menjadi empat fungsi pokok, yaitu : a) fungsi pemahaman, b) fungsi pencegahan, c) fungsi pengentasan, d) fungsi pemeliharaan dan e) fungsi pengembangan.
1. Fungsi Pemahaman
Jasa yang diberikan oleh pelayanan ini adalah berkenaan dengan pemahaman. Pemahaman yang sangat perlu dihasilkan oleh pelayanan bimbingan dan konseling adalah pemahaman tentang diri klien beserta permasalahannya oleh klien sendiri dan oleh pihak-pihak yang akan membantu klien, serta pemahaman tentang lingkungan klien oleh klien.
a. Pemahaman tentang klien
Pemahaman tentang klien merupakan titik tolak upaya pemberian bantuan terhadap klien. Sebelum konselor memberikan pelayanan kepada klien, maka terlebih dahulu mengenal diri klien seperti menyangkut latar belakang, kekuatan dan kelemahannya, serta kondisi lingkungannya. Materi pemahaman dapat dikelompokkan ke dalam berbagai data tertentu :
1) Identitas individu
2) Pendidikan
3) Status perkawinan
4) Status sosial-ekonomi dan pekerjaan
5) Kemampuan dosen
6) Kecendurangan sikap dan kebiasaan
7) Cita-cita pendidikan dan pekerjaan
8) Keadaan lingkungan tempat tinggal
9) Kedudukan dan prestasi yang pernah dicapai
10) Kegiatan sosial kemasyarakatan
Pemahaman tentang diri klien juga perlu bagi pihak-pihak lain, khususnya pihak yang berkepentingan dengan perkembangan dan kebahagiaan hidup klien tersebut. Guru-guru pun dapat dapat memanfaatkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap siswa demi keberhasilan. Gurunya memahami siswanya dengan baik akan setiap kali berusaha menyesuaikan materi dan metode pengajarannya itu agar masing-masing siswa dapat mengikuti pengajaran secara lebih efektif dan efisien.
Bagi konselor, upaya mewujudkan fungsi pemahaman merupakan tugas paling awal dalam setiap kali penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap masalah klien.
b. Pemahaman tentang lingkungan yang ”lebih luas”
Secara sempit lingkungan diartikan sebagai kondisi sekitar individu yang secara langsung mempengaruhi individu tersebut.Paparan singkat lebih lanjut menyangkut beberapa jenis lingkungan yang ”lebih luas”, seperti lingkungan sekolah bagi para siswa. Dengan itu siswa juga dapat mengetahui berbagai informasi pendidikan dan informasi jabatan / pekerjaan yang memungkinkan menjangkau dunia luar sekolah. Dari lingkungan tertentu juga memerlukan pemahaman tentang lingkungan mereka yang ”lebih luas”.
Pemahaman itu perlu dikembangkan oleh pelayanan bimbingan dan konseling. Permasalahan itu terasa manfaatnya apabila terdapat permasalahan individu ataupun kelompok tapi dalam pengembangannya dilakukan atas permintaan klien. Konselor perlu menyusun program yang lebih luas untuk pemahaman yang dimaksudkan.
2. Fungsi pencegahan
Bagi konselor profesional yang misi tugasnya dipenuhi dengan perjuangan untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang dapat menghalangi perkembangan individu, upaya pencegahan tidak sekadar merupakan ide yang bagus, tetapi adalah suatu keharusan yang bersifat etis (Horner & Mc Elhaney, 1993). Oleh karena itu, pelaksanan fungsi pencegahan bagi konselor merupakan bagian dari tugas kewajibannya yang amat penting.
a. Pengertian pencegahan
Pencegahan didefinisikan sebagai upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan atau kerugian sebelum kesulitan aatau kerugian itu benar-benar terjadi (Horner & McElhaney, 1993). Lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh positif terhadap individu. Oleh karena itu, lingkungan harus dipelihara dan dikembangkan. Lingkungan yang kira-kira akan memberikan dampak negatif kepada individu yang berada dalam llingkungan itu harus diubah sehingga dampak negatif tidak menjadi kenyataan.
Menurut George Albee ”makin kuat gabungan kondisi faktor organik dan stres akan meningkatkan kondisi bermasalah pada individu. Berikut ada beberapa uapaya pencegahan :
1) Mencegah adalah menghindari timbulnya atau meningkatkan kondisi bermasalah pada diri klien
2) Mencegah adalah mempunyai dan menurunkan faktor organik dan stres
3) Mencegah adalah meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, penilaian positif terhadap diri sendiri, dan dukungan kelompok.
Untuk mengurangi atau menghindari keadaan bermasalah pada diri individu, keadaan lingkungan yang kkurang menguntungkan perlu diperbaiki, keadaan faktor organik individu yang kurang menunjang (misalnya kesehatan terganggu) perlu dipulihkan, keadaan stres perlu dikurangi, kemampuan pemecahan masalah dan self-esteem perlu ditingkatkan, dan dukungan kelompok perlu digalangkan serta ditingkatkan.
b. Upaya pencegahan
Upaya pencegahan yang perlu dilakukan oleh konselor adalah :
1) Mendorong perbaikan lingkungan yang kalau diberikan akan berdampak negatif terhadap individu yang bersangkutan
2) Mendorong perbaikan kondisi diri pribadi klien
3) Meningkatkan kemampuan individu untuk hal-hal yang diperlukan dan mempengaruhi perkembangan dan kehidupannya
4) Mendorong individu untuk tidak melakukan sesuatu yang akan memberikan resiko yang besar, dan melakukan sesuatu yang kan memberikan manfaat
5) Menggalang dukungan kelompok terhadap individu yang bersangkutan
Dukungan dari berbagai pihak dalam berbagai jenis sokongan (sosial-emosional-materiil) akan memperkuat semangat dan upaya individu untuk terhindar dari permasalahan yang mungkin terjadi. Konselor perlu menggalang dukungan, semacam itu untuk memperkuat upaya pencegahan yang dimaksudkan.
Secara operasional konselor perlu menampilkan kegiatan dalam rangka pelaksanaan fungsi pencegahan. Secara garis besar, program-program tersebut dikembangkan, disusun dan diselenggarakan melalui tahap-tahap :
1) Identifikasi permasalahan yang mungkin timbul.
2) Mengidentifikasi dan menganalisis sumber-sumber penyebab timbulnya masalah.
3) Mengidentifikasi pihak-pihak yang dapat membantu pencegahan masalah.
4) Menyusun rencana program pencegahan
5) Pelaksanaan dan monitoring
6) Evaluasi dan laporan
3. Fungsi pengentasan
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan adalah upaya pengentasan melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Dalam hal itu, pelayanan bimbingan dan konseling menyelenggarakan fungsi pengentasan.
a. Langkah-langkah pengentasan masalah
Upaya pengentasan masalah pada dasarnya dilakukan secara perorangan, sebab setiap masalah adalah unik. Dengan demikian, penanganannya pun harus secara unik disesuaikan terhadap kondisi masing-masing masalah itu. Untuk itu konselor perlu memiliki ketersediaan berbagai bahan dan keterampilan untuk menangani berbagai masalah yang beraneka ragam.
b. Pengentasan masalah berdasarkan diagnosiis
Model diagnosis yang diterima dalam pelayanan bimbingan dan konseling adalah model diagnosis pemahaman, yaitu yang menguapayakan pemahaman masalah klien, yaitu pemahaman terhadap seluk-beluk masalah klien, termasuk di dalamnya perkembangan dan sebab-sebab timbulnya masalah. Sebagai rambu yang dapat dipergunakan untuk terselengaranya diagnosis pemahaman. Terdapat tiga dimensi dalam diagnosis :
1) Diagnosis mental / psikologis
2) Diagnosis sosio-emosional
3) Diagnosis instrumental
Diagnosis mental / psikologis mengarah kepada pemahaman tentang kondisi mental klien. Diagnosis sosio-emosional mengacu pada hubungan sosialklien dengan orang-orang yang amat besar pengaruhnya terhadap klien.
c. Pengentasan masalah berdasarkan teori konseling
Teori konseling dilengkapi dengan teori tentang kepribadian individu, perkembangan tingkah laku individu yang dianggap sebagai masalah, tujuan konseling, serta proses dan teknik khusus konseling. Tujuan teori tersebut adalah mengentaskan masalah yang diderita oleh klien dengan cara yang paling cepat, cermat, dan tepat. Pelaksanaannya tidak hanya melalui bentuk layanan konseling perorangan tetapi dengan menggunakan bentuk layanan lainnya, seperti konseling kelompok, program orientasi dan informasi. Untuk semuanya itu konselor dituntut menguasai dengan sebaik-baiknya teori dan praktek bimbingan dan konseling.
4. Fungsi pemeliharaan dan pengembangan
Dalam pelayanan bimbingan dan konseling, fungsi pemeliharaan dan pengembangan dilaksanakan melalui berbagai pengaturan, kegiatan, dan program. Tugas-tugas dan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan, apalagi pemeliharaan dan pengembangan individu manusia yang segenap aspek dan sangkut-pautnya sangat bervariasi dan kompleks, tidak dapat berdiri sendiri. Demikianlah, fungsi pemeliharaan dan pengembangan dalam bimbingan dan konseling tidaklah mungkin berdiri sendiri.Dalam suatu kegiatan atau program bimbingan dan konseling sebenarnya terkait langsung pada ketiga fungsi lain (pemahaman, pencegahan, dan pengentasan). Dalam menjalankan fungsi pemeliharaan dan pengembangan itu konselor sering kali tidak dapat berjalan sendiri, melainkan perlu bekerja sama dengan pihak lain.
Memperhatikan kaitan antara keempat fungsi bimbingan dan konseling, fungsi pemeliharaan dan pengembangan tampaknya bersifat lebih umum dan dapat terkait pada ketiga fungsi lainnya. Jika dikaji lebih jauh, dapatlah dimengerti bahwa ”pemeliharaan” dalam artinya yang luas dan ”perkembangan” pada dasarnya merupakan tujuan umum dari seluruh upaya pelayanan pemuliaan manusia, khususnya bimbingan dan konseling.
B. Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling
Dalam pelayanan bimbingan dan konseling prinsip-prinsip yang digunakannya bersumber dari kajian filosofis, hasil-hasil penelitian dan pengalaman praktis tentang hakikat manusia, perkembangan dan kehidupan manusia dalam konteks sosial budayanya, pengertian, tujuan, fungsi, dan proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Rumusan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling pada umumnya berkenaan dengan sasaran pelayanan, masalah klien, tujuan dan proses penanganan masalah, program pelayanan, penyelanggaraan layanan.
1. Prinsip-prinsip berkenaan dengan sasaran pelayanan
Sikap dan tingkah laku individu dipengaruhi oleh aspek-aspek kepribadian dan kondisi diri sendiri, serta kondisi lingkungannya. Variasi dan keunikan individu, aspek pribadi dan lingkungan, serta sikap dan tingkah laku dalam perkembangan dan kehidupannya itu mendorong dirumuskan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling sebagai berikut :
a) Bimbingan dan konseling melayani semua individu.
b) Bimbingan dan konseling berurusan dengan sikap dan tingkah laku individu.
c) Mengetahui permasalahan, kelemahan, dan kekuatan dari individu itu sendiri.
d) Pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan mengembangkan penyesuaian individu terhadap segenap bidang pengalaman harus mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan individu,
e) Meskipun individu yang satu dan lainnya adalah serupa dalam berbagai hal, perbedaan individu harus dipahami dan dipertimbangkan dalam rangka upaya yang bertujuan memberikan bantuan atau bimbingan kepada individu.
2. Prinsip-prinsip berkenaan dengan masalah individu
Faktor-faktor yang pengaruhnya negatif akan menimbulkan hambatan terhadap kelangsungan perkembangan dan kehidupan individu yang akhirnya menimbulkan masalah tertentu pada diri individu. Pelayanan bimbingan dan konseling hanya mampu menangani masalah klien secara terbatas. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan hal itu adalah :
a) Meskipun pelayanan bimbingan dan konseling menjangkau setiap tahap dan bidang perkembangan dan kehidupan individu, namun bidang bimbingan pada umumnya dibatasi hanya pada hal-hal yang menyangkut pengaruh kondisi mental dan fisik.
b) Keadaan sosial, ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan merupakan faktor salah satu pada diri invidu hal itu semua menuntut perhatian seksama dari para konselor dalam mengentaskan masalah klien.
3. Prinsip-prinsip berkenaan dengan program pelayanan
Kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling baik diselenggarakan secara ”insidental”, maupun terprogram. Konselor memberikan pelayanan kepada mereka secara langsung sesuai dengan permasalahan klien. Pelayanan ”insidental” merupakan pelayanan konselor yang sedang menjalankan ”praktek pribadi”. Prinsip-prinsip berkenaan dengan program layanan bimbingan dan konseling adalah sebagai berikkut :
a) Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari proses pendidikan dan pengembanngan.
b) Program bimbingan dan konseling harus fleksibel, disesuaikan dengan kondisi lembaga.
c) Program pelayanan bimbingan dan konseling disusun dan diselenggarakan secara berkesinambungan.
d) Terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling hendaknya diadakan penilaian yang teratur untuk mengetahui sejauh mana hasil dan manfaat yang diperoleh, serta mengetahui kesesuaian antara program yang direncanakan dan pelaksanaannya.
4. Prinsip-prinsip berkenaan dengan pelaksanaan layanan
Pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling dimulai dengan pemahaman tentang tujuan layanan. Tujuan diwujudkan melalui proses tertentu yang dilaksanakan oleh tenaga ahli dalam bidangnya, yaitu konselor profesional. Konselor yang bekerja di suatu lembaga yang cukup besar (misalnya sebuah sekolah), sangat berkepentingan dengan penyelengaraan program bimbingan dan konseling secara teratur dari waktu ke waktu. Kerja sama dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar berbagai tempat ia bekerja perlu dikembangkan secara optimal.
5. Prinsip-prinsip bimbingan dan konseling di sekolah
Pelayanan bimbingan dan konseling secara resmi memang ada di sekolah, tetapi keberadaannya belum seperti dikehendaki. Dalam kaitan ini Belkin (1975) menegaskan enam prinsip untuk menegakkan dan menumbuhkankembangkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Pertama, konselor harus memulai kariernya sejak awal program kerja yang jelas, dan memiliki kesiapan yang tinggi untuk melaksanakan program tersebut.
Kedua, konselor harus menonjolkan keprofesionalnya tetapi tetap menghindari sikap elitis atau kesombongan / keangkuhan profesional.
Ketiga, konselor bertanggung jawab untuk memahami peranannya sebagai konselor profesional dan menerjemahkan peranannya ke dalam kegiatan nyata.
Keempat, konselor bertanggung jawab kepada semua pihak dalam menangani permasalahan emosional.
Kelima, konselor harus memahami dan mengembangkan kompetensi untuk membantu siswa dalam mengalami masalah dengan kadar yang cukup parah.
Keenam, konselor harus mampu bekerja sama secara efektif dalam memberikan perhatian dan memiliki kesempatan yang baik untuk menegakkan citra bimbingan dan konseling profesional apabila memiliki hubungan yang saling menghargai dan saling memperhatikan.
Prinsip-prinsip menegaskan bahwa penegakkan dan penumbuh-kembangkan pelayan bimbingan dan konseling. Konselor profesional mampu bekerja sama dan membina hubungan yang harmonis-dinamis. Konselor yang demikian itu tidak akan muncul dengan sendiri, melainkan melalui pengembangan dan peneguhan sikap dan keterampilan, wawasan dan pemahaman profesional yang mantap.






BAB VI
ORIENTASI DAN RUANG LINGKUP KERJA BIMBINGAN DAN KONSELING
Pelayanan bimbingan dan konseling diselenggarakan terhadap sasaran layanan, baik dlam formal individual maupun kelompok. Pelayanan dengan orientasi perorangan, perkembangan, dan permasalahan diselenggarakan di dalam ruang lingkup sekolah dan luar sekolah.
A. Orientasi bimbingan dan konseling
Orientasi yang dimaksudkan di sini ialah ”pusat perhatian” atau ”titik berat pandangan”. Misalnya, seseorang yang berorientasi ekonomi dalam pergaulan, maka ia akan menitikberatkan pandangan atau memusatkan perhatiannya pada perhitungan untung rugi yang dapat ditimbulkan oleh pergaulan yang ia adakan oarang lain.
1. Orientasi perseorangan
Sejumlah kaidah yang berkaitan dengan orientasi perorangan dalam bimbingan dan konseling dapat dicatat sebagai berikut :
a) Semua kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka pelayanan bimbingan dan konseling diarahkan bagi peningkatan perwujudan diri sendiri individu yang menjadi sasaran layanan.
b) Pelayanan bimbingan dan konseling meliputi kegiatan berkenaan dengan individu.
c) Setiap klien harus diterima sebagai individu dan harus ditangani secara individual.
d) Penyelenggarakan program yang sistematis mempelajari individu merupakan dasar yang tak terelakkan bagi berfungsinya program bimbingan.
Kaidah-kaidah tersebut akan diturunkan sampai dengan penerapannya dalam berbagai jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling.
2. Orientasi perkembangan
Orientasi perkembangan dalam bimbingan dan konseling lebih menekankan lagi pentingnya peranan perkembangan yang terjadi dan yang hendaknya diterjadikan pada diri individu. Bimbingan dan konseling memusatkan perhatiannya pada keseluruhan proses perkembangan. Peranan bimbingan dan konseling adalah memberikan kemudahan bagi gerak individu menjalani alur perkembangannya. Pelayanan bimbingan dan konseling berlangsung dan dipusatkan untuk menunjang kemampuan inheren individu bergerak menuju kematangan dalam perkembangan.
Secara khusus, Thompson & Rudolph (1983) melihat perkembangan individu dari sudut perkembangan kognisi. Dalam perkembangnnya, anak-anak berkemungkinan mengalami hambatan perkembangan kognisi dalam empat bentuk :
a) Hambatan egosentrisme, yaitu ketidakmampuan melihat kemungkinan lain di luar apa yang dipahaminya.
b) Hambatan konsentrasi, yaitu ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian pada lebih dari satu aspek tentang sesuatu hal.
c) Hambatan reversibilitas, yaitu ketidakmampuan menelusuri alur yang terbalik dari alur yang dipahami semula.
d) Hambatan transformasi, yaitu ketidakmampuan meletakkan sesuatu pada susunan urutan yang ditetapkan.
3. Orientasi permasalahan
Fungsi pencegahan menghendaki agar individu dapat terhindar dari masalah yang mungkin membebani dirinya, sedangkan fungsi pengentasan menginginkan agar individu yang sudah terlanjur mengalami masalah dapat terentaskan masalahnya. Dalam konsep orientasi masalah terentang seluas daerah beroperasinya fungsi bimbingan, dan dengan demikian pula menyusupi segenap jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling.
B. Ruang lingkup pelayanan bimbingan dan konseling
Pelayanan bimbingan dan konseling memiliki peranan penting, baik bagi individu yang berada dalam lingkungan, sekolah, rumah tangga, maupun masyarakat pada umumnya.
1. Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal yang secara khusus dibentuk untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat. Dalam kelembagaan sekolah terdapat sejumlah bidang kegiatan dan bidang pelayanan bimbingan dan konseling mempunyai kedudukan dan peranan yang khusus.
a. Keterkaitan antara bidang pelayanan bimbingan konseling dan bidang-bidang lainnya
Terdapat tiga bidang pelayanan pendidikan, yaitu bidang kurikulum dan pengajaran, bidang administrasi dan kepemimpinan dan kesiswaan :
• Bidang kurikulum dan pengajaran meliputi semua bentuk pengembangan kurikulum dan pelaksanaan pengajaran.
• Bidang administrasi atau kepemimpinan, yaitu bidang yang meliputi berbagai fungsi berkenaan dengan tanggung jawab dan pengambilan kebijaksanaan.
• Bidang kesiswaan, yaitu bidang yang meliputi berbagai fungsi dan kegiataan yang mengacu kepada pelayanan kesiswaan secara individual.
Pelayanan bimbingan dan konseling dapat memberikan sumbangan ynag berarti terhadap pengajaran. Demikian juga terhadap administrasi dan supervisi, bimbingan dan konseling dapat memberikan sumbangan yang berarti : misalnya dalam kaitannya dengan penyusun kurikulum.
b. Tanggung jawab konselor sekolah
Konselor merupakan yang mengendalikan dan sekaligus melaksanakan berbagai layanan da kegiatan bimbingan dan konseling yang menjadi tanggung jawabnya. Konselor tidak hanya berhubungan dengan peserta didik atau siswa saja, melainkan dengan berbagai puhak yang dapat secara bersama-sama menunjang percapaian tujuan.
1) Tanggung jawab konselor kepada siswa, yaitu bahwa konselor :
• Memiliki kewajiban dan kesetiaan utama kepada siswa.
• Memperhatikan sepenuhnya segenap kebutuhan siswa.
• Memberikan kepada siswa tentang tujuan dan teknik layanan bimbingan dan konseling.
• Tidak mendesakkan kepada siswa terhadap nilai yang dianggap baik bagi konselor.
• Menjaga kerahasiaan data tentang siswa.
• Menyelenggarakan pengungkapan data secara tepat.
• Menyelenggarakan layanan bimbingan dn konseling secara tepat dan profesional.
• Melakukan referal kasus secara tepat.
2) Tanggung jawab kepada orang tua, yaitu bahwa konselor :
• Menghormati hak dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya.
• Memberi tahu orang tua tentang peranan konselor dengan asas kerahasiaan yang dijaga secara teguh.
• Menyediakan berbagai informasi yang berguna dan menyampaikan kepada orang tua dengan cara yang sebaik-baiknya untuk perkembangan siswa.
• Memperlakukan informasi yang diterima dari orang tua dengan menerapkan asas kerahasiaan.
• Menyampaikan informasi hanya kepada pihak-pihak yang berhak.
3) Tanggung jawab kepada sejawat, yaitu bahwa konselor :
• Memperlakukan sejawat dengan penuh kehormatan, keadilan, keobjektifan, dan kesetiakawanan.
• Mengembangkan hubungan kerja sama dengan sejawat.
• Membangun kesadaran tentang perlunya asas kerahasiaan.
• Menyediakan informasi yang tepat dan objektif untuk menangani masalah siswa.
• Membantu proses alih tangan kasus.
4) Tanggung jawab kepada sekolah dan masyarakat, yaitu bahwa konselor :
• Mendukung dan melindungi program sekolah terhadap penyimpangan yang merugikan siswa.
• Mengembangkan dan meningkatkan peranan dan fungsi bimbingan dan konseling.
• Bekerjasama dengan lembaga, organisasi, dan perorangan baik di sekolah maupun di masyarakat.
5) Tanggung jawab kepada diri sendiri, bahwa konselor :
• Menyadari kemungkinan pengaruh diri sendiri berfungsi dan tingkat keefektifan pelayanan serta menahan segala sesuatu kemungkinan merugikan klien.
• Mewujudkan peningkatan dan pengembangan pelayanan profesional melalui dipertahankannya kemampuan profesional konselor.
6) Tanggung jawab kepada profesi, yaitu bahwa konselor :
• Melakukan penelitian dan melaporkan penemuannya dalam bimbingan dan konseling.
• Berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan organisasi profesional bimbingan dan konseling.
• Menjalankan dan mempertahankan standar profesi bimbingan dn konseling.
• Dapat membedakan pernyataan yang bersifat pribadi dengan menyangkut profesi bimbingan.
2. Pelayanan bimbingan dan konseling di luar sekolah
Warga masyarakat yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling ternyata tidak hanya berada di lingkungan sekolah atau pendidikan formal saja.
a. Bimbingan dan konseling keluarga
Pelayanan yang menangani permasalahan dalam keluarga tampak berkembang dengan cepat. Pelayanan tersebut ditujukan kepada seluruh anggota keluargayang memerlukannya. Segenap fungsi, jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling pada dasarnya dapat diterapkan dengan memperhatikan keseuaiannya dengan karakteristik anggota keluarga.
b. Bimbingan dan konseling dalam lingkungan yang lebih luas
Pelayanan bimbingan dan konseling yang menjangkau daerah kerja yang lebih luas perlu diselenggarakan oleh konselor yang bersifat multidimensional, yaitu mampu bekerja sama selain dengan guru, administor, dan orang tua. Konsep profesional yang multidimensional akan lebih banyak berperan sebagai pelatih dan supervisor.


Unsur pengaruh sosial meningkatkan bahwa sebagai makhluk sosial, kepribadian individu dan bahkan ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Pendekatan psikometrik menegaskan bahwa kepribadian yang dapat dipilah-pilah dan dapat diukur. Pemahaman terhadap kepribadian seseorang dapat melalui pengukuran terhadap ciri-ciri kepribadiannya.
Uraian yang panjang lebar tentang landasan psikologis mengisyaratkan bahwa tidak mungkin bagi seorang konselor dapat berfungsi secara efektif dan tepat tanpa memanfaatkan kaidah-kaidah filsafat dan psikologi (Belkin, 1976). Namun demikian, untuk menghindari salah paham berkaitan dengan peranan psikologis dalam bimbingan dan konseling, Belkin lebih lanjut menyatakan : meskipun berbagai upaya telah dilakukan para ahli untuk memahami jiwa dan tempat manusia di bawah sinar matahari sepanjang masa yang disebut di dalam sejarah psikologi namunbelum pernah ada upaya dalam bidang filsafat dan psikologi untuk menangani permasalahan emosional.
Demikianlah keadaannya sekarang, psikologi lebih merupakan disiplin ilmu untuk mempelajari dan memahami manusia daripada untuk menanggulangi permasalahan manusia sacara teraputik. Sebaliknya, gerakan bimbingan, sejak awalnya muncul dan tumbuh sebagai gerakan yang dirancang untuk membantu individu mengatasi masalah-masalahnya, gerakan ini secara konsisten mengembangkan pendekatan dan cara-cara yang bersifat humanitarian dan teraputik sebagaimana tampil dengan kokoh dalam setiap upaya bimbingan dan konseling dewasa ini.
Dengan penegasan Belkin di atas jelaslah bahwa psikologi bukanlah akar gerakan bimbingan dan konseling, meskipun psikologi amat penting sebagai salah satu (bukan satu-satunya) sarana penunjang bagi kesuksesan layanan bimbingan konseling.

D. Landasan Sosial Budaya
Dalam Bab I telah dikemukakan adanya dimensi-dimensi kemanusiaan. Salah satu dari dimensi kemanusiaan itu adalah “dimensi kesosialan”. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak pernah dapat hidup seorang diri. Dimana pun dan bilamana pun manusia hidup senantiasa membentuk kelompok hidup terdiri dari sejumlah anggota guna menjamin baik keselamatan, perkembangan, maupun keturunan. Dalam kehidupan berkelompok itu, manusia harus mengembangkan ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing individu sebagai anggota demi ketertiban pergaulan sosial mereka. Ketentuan-ketentuan itu biasanya berupa perangkat nilai, norma sosial maupun pandangan hidup yang terpadu dalam sistem budaya yang berfungsi sebagai rajukan hidup para pendukungnya. Rujukan itu melebihi proses belajar, diwariskan kepada generasi penerus yang akan melestarikannya. Karena itu masyarakat dan kebudayaan itu sesungguhnya merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama (Budhi Santoso, 1992), yaitu sisi generasi pewaris dan sisi generasi muda sebagai penerus.

1. Individu sebagai Produk Lingkungan Sosial Budaya
Uraian terdahulu mengemukakan bahwa seorang individu tidak dapat hidup sendiri. Setiap anak, sejak lahirnya harus memenuhi tidak hanya tuntutan biologisnya, tetapi juga tuntutan budaya di tempat ia hidup, tuntutan budaya itu menghendaki agar ia mengembangkan tingkah lakunya sehingga sesuai dengan pola-pola yang dapat diterima dalam budaya tersebut. Manusia hidup berpuak-puak, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Masing-masing puak, suku dan bangsa itu memiliki lingkungan sosial budayanya sendiri yang satu berbeda dari yang lainnya. Kepulauan Nusantara didiami oleh sekitar 185 juta manusia yang tersebar pada hampir 14.000 pulau, yang terdiri atas ratusan suku bangsa dengan budaya, tradisi, dan adat-istiadatnya berbeda, mulai dari yang paling “primitif” sampai ke yang sangat tinggi. Kebinekaan yang ada di antara suku-suku bangsa Indonesia itu memperlihatkan perbedaan unsur-unsur sosial-budaya dalam tingkat yang tidak sama ada yang cukup besar, tidak begitu besar, atau kecil saja. Didalam satu suku bangsa pun masih dapat dijumpai perbedaan-perbedaan, meskipun perbedaan yang halus saja. Dalam kehidupan sekelompok manusia dengan jumlah yang cukup besar yang hidup pada suatu wilayah cukup besar hampir dapat dipastikan terdapat perbedaan-perbedaan dalam unsur-unsur sosial budaya yang mewarnai kehidupan mereka.
Perbedaan budaya tingkat international dapat dijumpai pada orank-orank yang berasal dari negara-negara yang berbeda seperti orang-orang dari Amerika, Rusia, Nigeria, Mesir, India, Cina, Jepang, Indonesia dan lain-lain. Di antara orang-orang yang berasal dari berbagai negara itu terlihat perbedaan yang amat nyata, seperti cara berpakaian, bahasa, makanan, cara berpikir dan bertingkah laku, dan lain-lain. Pada tingkah laku kedua dapat dijumpai perbedaan-perbedaan unsur-unsur sosial-budaya dalam satu kelompok etnis. Misalnya didataran Cina atau India atau Jepang masing-masing dapat dijumpaiberbagai sub-kultur Indonesia misalnya Jawa, Minagkabau, Batak, Bugis dan lain sebagainya. Pada tingkatan ketiga perbedaan-perbedaan sosial-budaya terdapat didalam satu etnis yang lebih kecil. Dialek dalam bahasa, adat istiadat dalam perkawinan, kelahiran dan kematian, status sosial dan lain-lain merupakan khasanah dari perbedaan-perbedaan tersebut.

2. Bimbingan dan Konseling Antarbudaya
Sesuai dengan dimensi kesosialannya, individu-individu saling berkomunikasi dan menyesuaikan diri. Komunikasi dan penyesuaian diri antar individu yang berasal dari latar belakang budaya yang sama cenderung lebih mudah dari pada antar mereka yang berasal dari latarbelakang yang berbeda. Ada lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi dan penyesuaian diri antarbudaya, yaitu sumber-sumber berkenaan dengan perbedaan bahasa, komunikasi non-verbal, stereotip, kecendrungan menilai, dan kecemasan.
Tuntutan tentang kompetensi di atas membawa implikasi terhadap pribadi-pribadi konselor serta sekaligus lembaga pendidikan dan latihan bagi konselor. Kurikulum dan program pendidikan serta latihan (teori dan praktek) perlu mencakup pengkajian dan kegiatan praktek lapangan berkenaan dengan aspek-aspek sosial budaya klien yang berbeda-beda. Untuk itu hasil-hasil penelitian sangat diperlukan agar para (calon) konselor dan para pendidik konselor yakin tentang berbagai unsur konseling antarbudaya. Untuk membimbing penelitian dan mengarahkan perhatian mereka kepada berbagai aspek dan seluk-beluk konseling budaya itu, Pedersen dkk. (1976) mengemukakan sejumlah hipotesis, yaitu :
a. Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling antarbudaya yang pada diri klien dan konselornya, maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil.
b. Makin besar kesamaan pemahaman tentang ketergantungan, komunikasi terbuka dan berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya (dalam konseling antarbudaya), makin besar kemungkinan konseling itu akan berhasil.
c. Makin besar kemungkinan penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien menjadi tujuan-tujuan operasional yang bersifat tingkah laku (dalam konseling antarbudaya), makin efektiflah konseling dengan klien tersebut.
d. Makin bersifat personal dan penuh dengan suasana emosional suasana konseling anatar budaya, makin mungkinlah klien menanggapi pembicaraan dalam konseling dengan bahasa ibunya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosialisasi klien dalam budayanya.
e. Keefektifan konseling antarbudaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses komunikasi pada umunya (baik verbal mapun non-verbal), dan terhadap gaya komunikasi dalam budaya klien.
f. Latar belakang dan latihan khusus, serta pemahaman terhadap permasalahan hidup sehari-sehari yang relevan dengan budaya tertentu, akan meningkatkan keefektifan konseling dengan klien yang berasal dari latar belakang budaya tersebut.
g. Makin klien (antarbudaya) kurang memahami proses konseling, makin perlu konselor atau program konseling antarbudaya memberikan pengarahan / pengajaran / latihan kepada klien (antarbudaya) itu tentang keterampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan dan transfer (menggunakan keterampilan tertentu pada situasi-situasi yang berbeda).
h. Keefektifan konseling antarbudaya akan meningkat sesuai dengan pemahaman (klien dan konselor) tentang nilai-nilai dan kerangka budaya asli klien dalam hubungannya dengan budaya yang sekarang dan yang akan datang dimasuki klien.
i. Konseling antarbudaya akan meningkat keefektifannya dengan adanya pengetahuan dan dimanfaatkannya kelompok-kelompok antarbudaya yang berpandangan amat menentukan terhadap klien.
j. Keefektifan konseling antarbudaya akan bertambah dengan meningkatkan kesadaran konselor tentang proses adaptasi terhadap kecemasan dan kebingungan yang dihadapi oleh individu yang berpindah dari budaya yang satu ke budaya yang lainnya, dan dengan pemahaman konselor tentang berbagai keterampilan yang diperlukan bagi klien untuk memasuki budaya yang baru itu.

E. Landasan Ilmiah dan Teknologis
Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori-teorinya, pelaksanaan kegiatannya, maupun pengembangan-pengembangan pelayanan itu secara berkelanjutan.

1. Keilmuan Bimbingan dan Konseling
Ilmu sering juga disebut “ilmu pengetahuan” merupakan sejumlah pengetahuan yang disusun secara logis dan sistematika. Pengetahuan ialah sesuatu yang diketahui melalui pancaindra dan pengolahan oleh daya pikir. Dengan demikian, ilmu bimbingan dan konseling adalah berbagai pengetahuan tentang bimbingan dan konseling yang tersusun secara logis dan sistematik. Sebagai layaknya ilmu-ilmu yang lain, metode penggalian pengetahuan yang menjadi ruang lingkupnya dan sistematika pemaparannya.

2. Peran Ilmu Lain dan Teknologi Bimbingan dan Konseling
Pernah disebutkan bimbingan dan konseling, sebagaimana juga pendidikan, merupakan ilmu yang bersifat multireferensial, artinya ilmu dengan rujukan berbagai ilmu yang lain. Di muka telah diuraikan betapa psikologi, ilmu pendidikan, dan filsafat memberikan sumbangan yang besar kepada bimbingan dan konseling. Demikian juga dengan sosiologi memberikan pemahaman tentang peranan individu dalam kelompok gabungan antara sosiologi dan ilmu ekonomi memberikan pemahaman tentang kondisi status sosial-ekonomi individu, gabungan antara sosiologi, antropologi dan kebudayaan memberikan pemahaman tentang latar belakang antropologi sosial-budaya klien, ilmu-ilmu kemasyarakatan dan lingkungan memberikan pemahaman tentang interaksi timbal balik antara individu dan lingkungan, ilmu hukum, agama dan adat istiadat memberikan pemahaman tentang nilai dan norma yang harus diikuti oleh individu dalam menjalani kehidupannya di masyarakat.

3. Pengembangan Bimbingan dan Konseling Melalui Penelitian
Bimbingan dan konseling baik teori maupun praktek layanannya bersifat dinamis dan berkembang, seiring berkembangnya ilmu-ilmu yang yang memberikan sumbangan dan seiring pula dengan perkembangan budaya manusia pendukung pelayanan bimbingan dan konseling itu.
Penelitian adalah jiwa dari perkembangan ilmu dan teknologi, apabila pelayanan bimbingan dan konseling diinginkan untuk berkembang dan maju, maka penelitian tentang bimbingan dan konseling dalam berbagai bentuk penelitian dan aspek yang diteliti harus terus-menerus dilakukan.

F. Landasan Pedagogis
Setiap masyarakat tanpa terkecuali senantiasa menyelenggarakan pendidikan dengan berbagai cara dan sarana untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Boleh dikatakan bahwa pendidikan itu merupakan salah satu lembaga sosial yang universal dan berfungsi sebagai sarana reproduksi sosial. Pada bagian ini pendidikan akan ditinjau sebagai landasan bimbingan dan konseling dari tiga segi, yaitu pendidikan sebagai upaya pengembangan manusia dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan. Pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling dan pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan pelayanan bimbingan dan konseling.

1. Pendidikan Sebagai Upaya Pengembangan Individu : Bimbingan Merupakan Bentuk Upaya Pendidikan
Pendidikan ialah upaya memanusiakan manusia. Seorang bayi manusia hanya akan dapat menjadi manusia sesuai dengan tuntutan budaya sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, hanya melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, bayi manusia yang telah lahir itu tidak akan mampu memperkembangkan dimensi keindividualannya, kesosialannya, kesusilaanya dan keberagamaannya. Ia akan menjadi “manusia alam”, bukan manusia budaya yang hidup bersama dengan manusia-manusia lainnya dalam tata budaya tertentu.

2. Pendidikan Sebagai Inti Proses Bimbingan Konseling
Sifat normatif merupakan kondisi inheren pada ilmu pendidikan. Demikian juga pada bimbingan dan konseling. Kesamaan kondisi inheren itulah agaknya yang merupakan salah satu pengikat sehingga keduanya merupakan disiplin ilmu yang amat terkait satu sama lain.

3. Pendidikan Lebih Lanjut Sebagai Inti Tujuan Bimbingan dan Konseling
Pendidikan merupakan upaya berkelanjutan. Apabila suatu kegiatan atau program pendidikan selesai. Individu tidak hanya berhenti disana. Ia maju terus dengan kegiatan dan pendidikan lainnya.
Bimbingan dan konseling mempunyai tujuan khusus (jangka pendek) dan tujuan umum (jangka panjang), tujuan khusus yang segera hendak dicapai (jangka pendek) dalam pelayanan bimbingan konseling ialah membantu memecahkan masalah yang sedang dihadapi, sedangkan tujuan akhir (jangka panjang) ialah bimbingan diri sendiri.
Rangkuman
Pelayanan bimbingan dan konseling memerlukan sejumlah landasan. Pertama landasan filosofi. Pemikiran filosofi menuntut konselor bekerja secara cermat, tepat dan bijaksana. Pemikiran filosofi yang selalu terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling terutama adalah tentang hakikat manusia dan tujuan serta tugas kehidupan manusia.
Daftar Pustaka
Adler, M.J. (1981). Great Ideas New York: Macmillan Publishing Company.

Bee, H. (1978). The Developing Chilla. New York: Harper & Row, Publisher.

Belkin, G.S. (1975). The Counselor Training In Practical Counseling. The Schools Dubuque. Lowa: W.C. Brown Company Publishers.

Bernard, H.W. & Fullmer, D.W. (1969). Principles of Guidance. New York. Harper & Row Publisher.

Bernard, H.W. & Fullmer, D.W. (1992). Comprehensive School Counselling Programs: A Review for Policymakers and Practitioners. Journal of Counseling and Development, 70 (4), 487-498

Welcome to my Activity

disini aq nampilin segala macam aktivitasku dan suasana hatiku baik senang, sedih, galau, gundah, gulana dll.

Total Tayangan Halaman